Rabu, 27 Mei 2009

resume buku

Paradigma Baru
Pendidikan Nasional
BAB 1. Membangun Kembali Perguruan Tinggi Islam

Perguruan tinggi islam mempunyai riwayat yang panjang. Bahkan Universitas Al-Azhar Kairo secara internasional diakui sebagai universitas tertua didunia. Tidak ragu lagi PTI, khususnya Universitas Al-Azhar, memainkan peran sangat penting tidak hanya dalam dan transmisi ilmu-ilmu keislaman, tetapijuga dalam dakwah. Fungsi dakwah ini semakin menguat setelah Al-Jamiah Al-Azhar menjadi lembaga pendidikan sunni.

Ortodoksi versus Modernisasi
Keserbamemadaian Universitas Al-Azhar dan juga lembaga-lembaga pendidikan islam lainnya, seperti madrasah, dengan wacana akademis dan keilmuan ortodoks mendapat tantangan dari modernitas yang semakin kuat memasuki wilayah-wilayah muslim sejak abad ke-19. kenyataan ini mendorong semakin kuatnya gagasan dan upaya pembaruan pendidikan islam. Bahkan dapat disimpulkan Husain dan Ashraf, pendidikan islam pada umumnya terjepit dalam konflik antara tradisi dan modernitas.
Sebagaimana juga diungkapkan Azra, Husain dan Ashraf melihat adanya dua sistem pendidikan yang dominant dikalangan masyarakat muslim. Pertama, pendidikan tradisional yang membatasi diri pada ilmu-ilmu klasik islam, dan tidak menunjukan minat serius untuk mengadopsi atau mengembangkan metode-metode baru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kedua adalah sistem pendidikan yang pada dasarnya dipinjam dari barat, dan dilaksanakan oleh pemerintahan Negara-negara muslim


Universitas islam
bisa dipahami jika ada usaha-usaha dikalangan kaum muslimin untuk membangun sebuah “sistem ketiga”, sistem ketiga ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatasi dikotomi di antara kedua sistem dan substansi, dan sebaliknya, melainkan “reintegrasi” di antara keduanya. Dan, dalam kaitan ini, setidaknya telah berkembang tiga model.
Pertama adalah model dimana kedua sistem dan substansi keilmuan ditempatkan dibawah satu atap.dalam model pertama ini, secara substansi sebenarnya masih terjadi dikotomi antar fakultas. Bahkan terdapat kecenderungan kuat, bahwa fakultas agama menjadi fakultas marjinal, yang menarik hanya sedikit mahasiswa.
Model kedua adalah model Universitas Islam Antar-Bangsa baik di Islamabad, Pakistan, maupun di kuala Lumpur, Malaysia, model ini menwarkan kelembagaan keilmuan-selanjutnya fakultas-fakultas dan jurusan-dengan klasifikasi faculty of revealed knowledge, fakultas-fakultas ilmu non wahyu , seperti ekonomi, teknik, dan sebagainya.=]
Model ketiga adalah model IAIN. Dalam model ini, ilmu-ilmu agama menjadi titik tolak yang mrupakan inti seluruh wacana dan proses keilmuan dan akademis. Sedangkan ilmu-ilmu umum menjadi suplemen dan pelengkap yang terintegrasi sepenuhnya kedalm kurikulum. Masalah pada model ketiga ini adlah secara institusional IAIN dipandang dan diperlakukan sebagai perguruan tinggi “murni agama” terlepas dari kenyataan bahwa kurikulumnnya dan bahkan kelembagaannya juga mencakup jurusan-jurusan umum.


BAB 2. Peran dan Tantangan Perguruan Tinggi

“one among the core missions and value of higher education is to) … help protect and enhance societal values by training young people in the value which from the basis of democratic citizenship and by providing critical and detached perspectives to in the discussion of strategic options and the reinforcement of humanistic persfectives” (UNESCO, 1998:4)
Sejauh menyangkut krisis mentalitas dan moral mahasiswa, terdapat beberapa masalah pokok yang menjadi akar krisisi mentalitas dan moral di lingkungan PT ( cf Djohar, 1999; Navis, 1999). Pertama, arah pendidikan telah kehilangan objektivitas. Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan PT. ketiga, proses pendidikan di PT sangat membelenggu mahasiswa dan, bahkan juga dosen. Keempat, beban kurikulum yang demkian berat, lebih parah lagi hamper sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka. Kelima, kalaupun ada materi yang dapay menumbuhkan rasa afeksi-seperti matakuliah agama-ia umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme, yang juga disertai dengan rote-memorizing. Keenam, pada saat yang sama mahasiswa dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering bertentangan. Ketujuh, selain itu mahasiswa juga mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik di lingkungannya.
Ketujuh masalah tersebut bukanlah daftar yang exhaustiver, dan karena itu bisa ditambah lagi yang lainnya. Dan, sebab itu, upaya mengatasinya tidak bisa dilakukan secara ad hoc dan parsial. Bahkan dapat dikatakan, pemecahan masalah-masalah besar itu meniscayakan reformasi itu sendiri secara keseluruhan.

Peran Moral dan Etik PT
Dalam konteks ini, saya memandang relevan mengangkat kutipan pada awal makalah ini, yang memandang dalam “World Declaration on Higher Educationfor the Twenty-First Century: Vision and Action” UNESCO,1998). Gagasan dan konsep yang terkandung dalam Deklarasi UNESCO yang dikutip di atas juga selaras dengan kerangka dasar konsep “paradigma baru” PT . dlam parasigma baru PT, pendidikan dirumuskan sebagai proses pembudayaan peserta didik, sehingaga mereka menjadi warga Negara yang memiliki “keadaban”, yang pada gilirannya menjadi pilar bagi pembentukan masyarakat madani dalam Indonesia baru.
Dilihat dari segi ini, hemat saya, pendidikan-termasuk di PT, bertuagas mengembangkan setidak-tidaknya lima bentuk kecerdasan: pertama, kecerdasan intelektual; kedua, kecerdasan emosional; ketiga, kecerdasan pratical; keempat, kecerdasan social; dan kelima, kecerdasan spiritual dan moral. Di sinilah terletak penekanan utama proses pendidikan, bahwa pendidikan harus bepusat pada peserta didik.
Membangun Karakter di PT
Seperti dikemukakan di atas, PT dapat melakukan “sesuatu” sebagaimana disarankan berikut ini. Pertama, menerapkan pendekatan “modeling”dan “exemplary”. Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasiikan secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang baik atau buruk. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karacter.


BAB 3. Paradigma Baru Perguruan Tinggi: Visi IAIN

Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan bagian integral dari system pendidikan nasional. Karena itu, IAIN secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-peruahan paradigma, konsep, visi, dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/pergurusn tinggi nasional, dan bahkan internasional, seperti dirumuskan dalam deklaraasi UNESCO.

Paradigma Baru PT
Dalam dunia yang semakin berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru PT. paradifma baru itu, mau tidak mau, melibstkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transaran dan akuntable. Paradigma baru PT yang sekarang ini di Indonesia menjadi kernagka dan landasan pengembangan [T-sebagaimana akan kita bahas ini-merupakan hasil dan pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada tingkst nasional maupun inetrnasioanal.
Reassessment terhadap kinerja PT secara komprehensf,menhasilkan pemikiran dan konsep barutentang pengembangan PT,bisa kita lihat Amijaya91976). Amijaya mengajukan lima program besar. Pertama, peningkatan produktivitas PT; kedua, peningkatan daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan kepada masyarakat; keempat, peningkatatn bidang keilmuan eksakta atau iptek; kelima, peningkatan kemampuan berkembang. Harus siakui, program diatas tidak banyak berhasil,sebab itu, sebuah konsep pengembangan PT jangka panjang 1986-1995 yang sedikit berbeda diperkenalkan (Ranuwiharjo, 1985), pertama, peningkatan kualitas PT; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga, peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.
Hal yang tak kurang pentingnya bagian lain dari “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip disini adalah tentang peran etik, otonomi, tanggung jawab dan fungsi antisipaif PT. penting dicatat, di samping penekanan yang kuat kepada fungsi-fungsi PT vis-à-vis masyarakat pada umumnya, PT juga dituntut menjadikan para mahasiswa sebagai actor-aktor utama; atau dengan kata lain, mengembangkan PT yang menjadikan mahasiswa sebagai “pasat’ atau “orientasi” dalam seluruh kegiatannya.
Paradigma baru PT itu pada dasarnya bertumpu kepada tiga tungku utama, yakni: Pertama, greater autonomy, kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi. Kedua, greater quality accountability, akuntabilitas atau tanggung urai, bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggung jawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Ketiga, greater quality assurance; jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan; dan evaluasi eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional(BAN).

Paradigma Baru: Visi IAIN Jakarta
Konsep dasar awal pengembangan IAIN Jakarta pada 1990-an adalah perubahan IAIN Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta.
Dari berbagai pertimbangan semua hal yang ada, yang dapat dilakukan IAIN Jakarta sesuai dengan latar belakang pemikiran di atas adalah: Pertama, mempertahankan kelembagaan IAIN dengan mandate formalnya sekarang, yakni dalam bidang ilmu agama, tetapi tetap mengupayakan pencapaian substansi yang berada di balik gagasan pembentukan UIN, misalnya, rapprochement antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, dan agar kajian-kajian keilmuan di IAIN lebih kontekstual dan relevan dengan perkembangan jaman. Kedua, mempertahankan kelembagaan IAIN Jakarta seperti sekarang ini, tetapi dengan mengadopsi konsep IAIN with wider mandate.
Dalam mempertimbangkan berbagai constraint yang ada, pentingnya islam sebagai core semua ilmu, dan pertimbangan histories, maka alternatif kedua inilah yang dalam dua tahun terakhir ini dipilih IAIN Jakarta.

BAB 4. Kompetisi Lulusan Program Pascasarjana

Program pascasarjana (PPS) IAIN yang mulai berkembang sejak paroh pertama dasawarsa 1980 ( IAIN Jakarta, 1982, dan IAIN Yogyakarta, 1983). Dari satu segi, perkemangan ini bisa ajdi menggembirakan, karena hal ini setidak-tidaknya secara lahiriah mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan penyelenggaraan program akademis pada tingkat lanjutan dan sekaligus menunjukan semakin berkembangnya social equity dalam pendidikan post-graduate. Akan tetapi, sulit dihindari adanya kesan bahwa dalam kasus-kasus tertentu, penyelenggaraan PPS itu lebih didorong semangat “tidak mau kalah” daripada dilandasi pertimbangan kesiapan dan kemampuan akademis yang memadai dari berbagai aspek penyelenggaraanya.
Dari sudut ekspektasi akademis keilmuan keislaman, maupun harapan social setiap peserta/lulusan PPS IAIN mesti memiliki pengetahuan umum tentang Islam. Pengalaman dan oservasi baik terhadap peserta test masuk PPS maupun mereka yang akan menyelesaikan programnya-baik S2 maupun S3- menunjukan terdapat cukup banyak di antara mereka yang memiliki pengetahuan yang sangat minimal tentang Islam umumnya. Banyak di antara mereka selain tidak memiliki pengetahuan memedai tentang Islam secara umum, juga sebagai konsekuensinnya tidak mampu menjelaskan Islam secara baik. Untuk itu maka diperlukan kebijaksanaan khusus, baik pada testing masuk, maupun selama perkuliahan dan menjelang penyelesaian program.
Kompetensi keahlian dalam bidang yang sesuai dengan konsentrasi dalam kasus-kasus tertentu juga tidak memadai. Hal ini selain disebabkan kurang terjadinya tenaga dosen yang memang ahli dalam bidang tersebut, juga karena komposisi kurikulum yang tidak memadai untuk menunjang pembentukan keahlian. Kompetensi dalam penelitian sampai saat ini jelas terlihat masih lemah. Kelemahan ini terkait bukan hanya dengan kelemaham dalam penguasaan metodologi penelitian, tetapi juga karena minimalnya pengetahuan peserta PPS dalam ilmu-ilmu lain yang merupakan ilmu-ilmu Bantu dalam melakukan penelitian.
Untuk pengembangan berbagai kompetensi peserta PPS tersebut di atas maka sudah waktunya diselenggarakan “program sandwich” dan “program pertukaran” di antara PPS-PPS yang ada. Program semacam ini memberikan kesempatan yang sangat baik bagi para peserta untuk mengambil berbagai matakuliah yang relevan dengan kompetensi yang tengah ia bangun dan kembangkan.


BAB 5. Posisi Madrasah di Dunia Pendidikan Nasional

Apa yang saya buat dalam tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan umum yang berlangsung di dunia pendidikan di Indonesia, khususnya madrasah. Tanpa memperhatikan dinaamika yang terjadi di tingkat bawahnya, IAIN/STAIN sangat berpotensi menjadi “menara gading”. Dalam konteks inilah tulisan saya berikut lebih berarti sebagai ajakan pada kita bersama bagaimana mestinya merancang bangun program study Tarbiyah di IAIN/STAIN.

Persoalan yang Berkembang di Dunia Madrasah
Perlahan namun pasti, dikotomi antarmadrasah dan sekolah umum mulai pudar. Perkembangan tersebut membawa implikasi yang cukup mendasar bagi keberadaan madrasah. Di sini ia boleh mengklaim dirinya sebagi “sekolah umum plus”. Sementara di sisi lain, karena tuntutan untuk memperkaya peran dan fungsinya, madrasah mendapatkan beban tambahan yang cukup berat. Beratnya beban yang diemban oleh madrasah tersebut masih ditambah dengan rendahnya kualitas sumber-sumber daya pembelajaran. Di samping sumber daya guru, minimnya fasilitas pembelajaran, institusi madrasah juga masih banyak memiliki kendala manajemen.
Dalam konteks sekarang ini, kita melihat bahwa pendidkan di madrasah cendeung tidak memberikan pemahaman yang lengkap mengenai system budaya yang berlaku, sehingga membuat peserta didiknya tidak mampu menjalani kehidupan secara bermakna. Idealnya, dunia madrasah memiliki suatu gambaran dari masyarakat yang diidam-idamkan. Berpedoman pada gambaran ini sebagai suatu model normatif, dunia madrasah melakukan penilaian-penilaian terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, sekaligus menentukan langkah pembaharuanpendidikan.


Masalah Pokok
Suka atau tidak, situasi yang memprihatinkan yang terjadi di dunia madrasah sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan kesalahan yang dilakukan oleh IAIN/STAIN, khususnya Fakultas Tarbiyah/Jurusan Tarbiyah yang berada di dalamnya. Sebagai institusi yang mengemban misi melahirkan sarjana di bidang pendidikan Islam, dan kemudian menjadi tenaga professional di bidangnya, yang dalam banyak hal menjadi guru-guru di madrasah, Fakultas/Jurusan Tarbiyah harus merasa bertanggung jawab dengan carut-marut dunia pendidikan yang terjadi di madrasah.


BAB 6. Reposisi Madrasah: Dilema dan Prospek

Memasuki abad ke-21, madrasah di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Dilemma dan pilihan-pilihan sulit yang dihadapi madrasah banyak berkaitan dengan perkembangan internal madrasah.mempertimbangkan semua dilema dan pilihan sulit yang dihadapi madrasah, maka pemikiran tentang reposisi madrasah menjadi hal yang mendesak untuk dikembangkan.

Kebangkitan Madrasah?
Selama ini madrasah dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional islam, baik yang berada di dalam maupun di luar kelembagaan pesantren. Madrasah, terlepas dari berbagai keterbatasan yang dihadapinya, harus diakui telah turut membina dan mengembangkan SDM kaum Muslimin, baik dalm bidang pebgetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan muncul dan berkembang ninat kalangan masyarakat Muslim Indonesia untuk membangun madrasah unggulan dalam bebagai jenjang pendidikan.
Berbarengan dengan peningkatan minat dan harapan kaum Muslimin umumnya terhadap madrasah, maka kebijakan pendidikan nasional beberapa tahun terakhir ini mengharuskan madrasah, khususnya Madrasah Aliyah, untuk juga lebih mengembangkan jurusan-jurusan umum, dan keterampilan

BAB 7. Kurikulum Mdrasah dalam Era Otonomi Pendidikan

Otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22/1999 telah menimbulkan perasaan besar. Pendidikan umum yang berada di bawah Depdiknas ikut mengalami desentralisasi,sementara pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama masih belum jelas. Terlepas dari pilihan mana yangakan diambil, semngat dan proses otonomi dan desentralisasi,suka atau tidak, turut mempengaruhi keseluruhan sistem pendidikan agama, khususnya madrasah, dan dalam pembicaraan ini kurikulum madrasah.
Kurkulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah (madrasah), dan pengawas pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Lebih dari itu, kurikulum merupakan penejawatan dari tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Dengan demikian harus terdapat perbedaan antara kurikulum MI, MTs, dan MA. Kurikulum MI dan MTs, sebgai pendidikan dasar lebih menekankan pada transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak, sedangka MA selain kedua hal ini juga menekankan pembentukan dan pembinaan keterampilan yang kini popular sebagai life skills.
Sentralisme yamg sangat menonjol dalam kurikulum yamg dikeluarkan Depdiknas yang kemudian “dilengkapi” dengan “kurikulum Depag” mestilah disederhanakan. Selebihnya muatan kurkulum itu harus didesentralisasikan, sehingga memberikan peluang leih besar dan maksimal bagi daerah dan sekolah/madrasah untuk merumuskan kurikulumnya sendiri berdasarkan kepentingan stakeholders di daerah.




BAB 8. Pengelompokan Disiplin “Ilmu Agama”

Tema pengelompokan “ilmu agama” secara implisit mengisyaratkan adanya dikotomi yang lazim di kalangan kaum Muslimin tentang “ilmu agama” pada saut pihak dan “ilmu umum” pada pihak lain.

Dikotomi Ilmu dan Respons IAIN
Untuk tingkat pendidikan tinggi , dikotomi kedua batang tubuh ilmu tersebut dan kelembagaan itu telah lama disadari menimbulkan berbagai berbagai masalah bagi IAIN,. Terdapat kecurigaan dari kalangan Muslim, bahwa upaya mengatasi dikotomi ilmu tersebut merupakan langkah awal dari likuidasi IAIN ke dalam sistem pendidikan di bawah Depdikbud. Terlepas dari masalah terakhir ini, di lingkungan IAIN, atas persetujuan Departemen Agama,sejak 1970-an telah melakukan berbagai upaya untuk memperkecil jika tidak menghilangkan dikotomi tersebut. Pertama, memperkenalkan dan memperbanyak matakuliah umum seperti filsafat umum, sosiologi, perbandingan agama, statistic dll dalam kurikulum nasional IAIN. Kedua, mendirikan dan mengembangkan jurusan-jurusan umum seperi jurusan Pedagogik, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dll pada dasawarsa 1970-an.

Reklasifikasi “Ilmu Agama” dan Reintegrasi Ilmu
Menurut ketentuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), disiplin ilmu agama yang menjadi bidang keilmuan IAIN mencakup delapan bidang: pertama, bidang sumber ajaran islam, yakni AlQuaran dan hadist; kedua, bidang pemikiran islam yang terdiri dari ilmu kalam (teologi), falsafah, dan tasawuf; ketiga, bidang syariah (hukum Islam) dan pranata social lainnya; keempat, bidang sejarah dan peradaban Islami; kelima, perkembangan modern di dunia Islam; keenam, bahasa dan saatra Arab; ketujuh, bidang pendidikan Islam (tarbiyah); dan kedelapan, bidang dakwah Islam.
Tidak begitu jelas alasan kenapa disiplin “ilmu agama” mencakup hnaya delapan bidang, di antara kedelapan bidang itu terdapat bidang yang sulit dikategorisasikan sebagai disiplin atau subdisiplin ilmu.
Terlepas dari persoalan terakhir ini, cakupan delapan bidang disiplin “ ilmu agama” tersebut jelas lebih luas dari pada pembidangan dan klasifikasi ilmu agama pada saat meningkatnya ortodoksi Sunni pasca Imam Al-Ghazali khususnya.

Reintegrasi ilmu
Memandang berbagai dampak dan implikasi negative dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum,untuk melakukan “reintegrasi ilmu-ilmu”, dalam kerangka ini, ilmu-ilmu dipandang sebagai suatu kesatuan, yang setara hierarkinya, yang dari perspektif islam sama-sama mendapat pahala jika menuntut dan menekuninya. Walau Islam mengajarkan integralisma keilmuan yang bisa juga disebut sebagai tawhidig paradigm of science pada tingkat konseptual, tetapi harus diakui pada tingkat praksisi tidak terjadi disharmoni, dan dikotomi di antara keduanya, seperti dikemukakan diatas.
Apa arti semua klasifikasi ilmu-ilmu yang demikian rumit tersebut? Ia menunjukan komplesitas ilmu-ilmu yang berkembang dalam tradisi keilmuan dan peradaban islam. Ia menegaskan bahwa ilmu-ilmu agama hanyalah salah satu bagian dari ilmu-ilmu Islam secara keseluruhan. Pada tingkst praksisi bisa dikatakan, kemajuan peradaban kaum muslimin berkaitan dengan kemajuan seluruh aspek dan bidang bidang keilmuan. Jadi, tatkala bidang-bidang ilmu tertentu dimakruhkan apalagi diharamkan, maka akan terciptalah disharmoni, diskrepansi yang mengkibatkan retardasi peradaban muslim secara keseluruhan.


BAB 9. Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam

Dalam tulisan ini akan dipetakan bebrapa persoalan yang dihadapi system pemikiran dan pendidikan islam.peta pertama meliputi du permasalahan. Pertama, berkenaan dengan situasi riil system pemikiran dan juga system pendidikan islam. Kedua, berkenaan dengan upaya rekonstruksi ilmu sebagai alternative apa yang harus kita lakukan di dalam merekonstruksi system pendidikan islam ini.
Permasalahan pertama berkait dengan situasi objektif pendidikan islam, yaitu adanya krisis konseptual. Krisis konseptual tentang definisi atau pembatasan ilmu-ilmu di dalam sisitem pendidikan islam itu sendiri, atau dalam konteks Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional. Krisis konseptual dimaksud adalah tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam islam.
Permasalahan kedua adalah krisis kelembagaan. Ini berkaitan dengan permasalahan yang pertama. Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Dikotomi ilmu tersebut dalam bebrapa hal mungkin ada baiknya. Persoalannya, kalau kita tidak setuju atau berkeberatan dengan dikotomi semacam itu lebih banyak berkaitan dengan persoalan politik. Maka lembaga-lembaga Pendidikan Islam ini persoalannya bukan hanya menyangkut pendidikan Islam, tapi juga menyangkut ideology, ada proses ideologisasi.
Selain kedua persoalan di atas, muncul persoalan ketiga yaitu adanya konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam dengan modernitas. Selanjutnya muncul pula persoalan keempat yaitu krisis metodologi atau krisis pedagogic. Permasalahan terakhir, kelima, adalah krisis orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya lebih berorientasi ke masa silam ketimbang ke masa depan.


BAB 10. Strategi Pengembangan Pendidikan Agama di Aceh

Otonomi khusus NAD memberikan peluang sangat besar bagi pembangunan kembali dan pengembangan pendidikan agama di NAD. Pendidikan agama memiliki landasan yang amat kuat dalam masyarakat NAD yang terkenal sebagai salah satu suku bangsa yang sangat kuat memegang Islam. Membangun kembali pendidikan agama di NAD, selain bertujuan untuk membangkitkan kembali tradisi kependidikan agama, lebih jauh lagi untuk memperkuat landasan sosiokultural keagamaan.
Pembangunan kembali pendidikan agama di NAD dapat bertitik tolak dari kelembagaan pendidikan agama yang ada, seperti madrasah dan pesantren. Bahkan, sesuai dengan otonomi khusus NAD, sekolah-sekolah umu juga dapat dikonversi menjadi “pendidikan agama” tanpa kehilangan bobot “pendidikan umum”-nya yang juga diperlukan dalam kehidupan dan masa depan NAD. Dengan otonomi khusus NAD, perumusan kurikulum khusus bagi “pendidikan agam” di Aceh sanagnt dimungkinkan, jika tidak sebuah keharusan.
Karena otonomisasi khusus NAD, maka kurikulum Depdiknas yang diikuti madrasah juga harus ditinjau kembali, atau bahkan diikuti hanya secara sangat terbatas. Sentralisme yang sangat menonjol dalam kurikulum yang dikeluarkan Depdiknas yang kemudian “dilengkapi” dengan “kurikulum Depag” mestilah disederhanakan, dengan hanya menggariskan kebijakan, prinsip minimal, yang pada intinya hanya bertujuan untuk menjamin adanya standar dasar umum bagi pendidikan nasional secara keseluruhan.
Dalam konteks otonomi khusus NAD dan desentralisasi pendidikan, pengertian kurikulum juga harus disesuaikan. Maka pengertian kurikulum yang lebih tepat dalam konteks tersebut adalah “sejumlah pengalaman (pendidikan) yang ditempuh peserta didik dengan bimbingan sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan sekolah masing-masing”. Paradigma kurikulum seperti itu lebih popular disebut sebagai kurikulum berbasis sekolah.
Untuk menyimpulkan, pengembangan kirikulum berbasis sekolah di wilayah NAD merupakan alternative terbaik bagi pembangunan kembali dan sekaligus peningkatan pendidikan madrasah pada masa otonomi khusus NAD dan desentralisasi pendidikan yang terus menemukan momentumnya dan kelihatannya tidak bisa dimundurkan lagi. Meski demikian, madrasah memiliki modal sangat besar dalam bentuk pengalaman panjang sebagai lembaga pendidikan “ community-based education.


BAB 11. Surau atau Pesantren

Dalam masyarakat Minang, istilah surau bagi mereka mungkin lebih sering diasosiasikan atau bahkan diidentikkan dengan langgar atau musala. Lebih celaka lagi, ketika mendemgar istilah surau yang terbayang di kepala mereka agaknya adalah “pakiak saringgik”, yang berkeliling dari rumah ke rumah, pecan ke pecan. Dengan kata lain, surau barangkali lebih sering dianggap sebagai sebuah symbol keterbelakangan atau seperti pernah dikeluhkan Buya Hamka, symbol “dunia tangkelek dan kain sarung” sebagai kontras dengan “dunia sepatu dan pantaloon” yang mempresentasikan kemajuan.
Sejauh mana kebenaran dan tingkat akurasi persepsi seperti ini pada masa sekarang, tampaknya perlu dikaji lebih jauh. Tetapi tidak terlihatnya tanda-tanda yang menyakinkan bagi”kebangkitan kembali” surau sebagai lembaga fuul-fledged pendidikan,agama,social, dan budaya, maka bisa dipastikan bahwa persepsi semacam ini masih tetap dominant. Bahkan sebaliknya, surau nyaris hilang tidak hanya dari “public discourse” masyarakat minang sendiri tetapi juga dalam nomenklatur kontemporer kelembagaan pendidikan islam.

Surau kian terendam
Keterpinggiran surau ini semakin terlihat dengan perkembangan kelembagaan pendidikan-keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Minang, khususnya di ranah Minang. Perkembangan institusi pendidikan keagamaan tersebut tidak bisa lain berkaitan erat dengan semakin meningkatnya keprihatinan tentang kemerosotan ssosialisasi adapt, budaya dan agama dikalangan generasi muda. Sementara pada saat yang sama, khususnya pada intelektualisme keagamaan, satu persatu ulama besar Minang wafat, baik yang di ranah maupun di rantau sejak HMD Palimo Kayo, Buya Hamka, AR S utan Mansyur, dan seterusnya,
Orang-orang besar dari dari surau ini pergi dalam kenestapaan menykasikan kemerosotan surau secara continu. Sementara mereka wafat, surau sebagai lembaga yang pernah efektif dalam reproduksi ulama dan kepemimpinan masyarakat Minang tetapi tidak menunjukan tanda-tanda pemulihan dan kebangkitan. Bahkan surau kelihatan semakin terandam.
Semakin terandamnya surau dalam masa-masa terakhir ini dalam banyak hal masih berkaitan dengan factor-faktor di masa silam. Yakni, meningkatnya aspirasi “modernisasi” dan bahkan “sekularisasi” dalam masyarakat Minang. Aspirasi semacam inilah yang pernah disebut sejarawan Taufik Abdullah sebagai “ hasrat keras yang menyala-nyala untuk masuk kealam kemajuan”. Aspirasi untuk memasuki alam kemjuan ini dimulai dengan transformasi banyak surau menjadi “sekolah nagari” sejak 1870-an. Modernisasi dan pembaruan keagamaan pada awal dasawarsa abad ke-20 semakin membuat surau dipandang banyak masyarakat Minang sebagai semakin tidak relevan dengan “alam kemajuan”.
Kondisinya, seperti bisa diduga dan disaksikan, tidak semakin membaik pada masa-masa tahun pasca kemerdekaan. Bahkan, kondisinya semakin memburuk setelah situasi pasca-PRRI. Bahkan ulam dan calon ulam hujrah dari ranah Minang, karena bukan hanya situasi yang semakin tidak kondusif, tetapi juga karena terciptanya penyakit psikologis yang pernah disebut sebagai “padangtits” atau “minagtitis” diidap banyak orang Minang.
Modernisasi atau tepatnya developmentaism Orde Baru juga tidak mampu membangkitkan kembali surau. Surau sudah terlanjur sangat tarandam, sehingga sangat sukar dibangkitkankembali; atau mungkin sudah benar-benar roboh, seperti pernah secara ironis diungkapkan para sastrawan A.A Navis dalam “Robohnya Surau Kami”.sebaliknya, lembaga pesantren di jawa-yang merupakan equivalent surau dari segipendidikan keagamaan dan reproduksi ulama-semakin menemukan momentunya dengan program-program pemberdayaan dalam fungsi keagamaan, pendidikan,social,budaya dan bahkan ekonomi.

Surau dan Pesantren
Tetapi dibalik potret keprihatinan tadi, masih ada harapan, meski agaknya bergeser dari surau. Kemerosotan dan disfungsi surau yang telah menimbulkan keprihatinan mendalam, harus diakui, telah menjadi stimulant kuat bagi mereka yang peduli untuk mencari dan mewujudkan eksperimen baru. Salah satu eksperimen yang sangat menonjol adalah pendirian PesantrenModern Prof. Dr. Buya Hamka di Pasar Usang, sekitar 20 kilometer dari kota Padang bebrapa tahun lalu.
Terlepas dari persoalan ini, Pesantren Buya Hamka tidak bisa menggantikan peran dan fungsi surau tradisional. Surau merupakan institusi adapt dan budaya. Namun, setidaknya dari sudut pendidikan keislaman, dan sekaligus reproduksi ulama, cerita keberhasilan Pesantren Modern Buya Hamka hemat saya bisa direduplikasi di tempat-tempat lain di Minang.
Karena modernisasi dan urbanisasi, surau agaknya memang tidak lagi menjadi”kamar” bagi anak laki-laki atau menjadi tempat diam bagi laki-laki tua yang ditinggal wafat oleh istrinya; agaknya juga tidak lagi menjadi tempat bermalam bagi laki-laki pedagang babelok. Akan tetapi setidak-tidaknya surau masih bisa secara efektif dimanfaatkan untuk kepentingan transmisi nilai-nilai dasar keagamaan dan adapt istiadat Minangyang konon,”tak lakang di paneh, tak lapuak di hujan”


BAB 12. Pendidikan Kritis, Demokrasi, dan “Civil Society”

“in problem-posing education, men develop their power to perceive critically they way they exist in the world with which and in hich they find themselves; they come to see the world not as a static reality, but as a reality in process, in transformation”(Paulo Freire,1978:56)
Pemberdayan pendidiksn islam-sejak dari madrsah hingga IAIN-menjadi salah satu concern pokok Prof. Dr. Mulyanto Sumardi baik ketika ia menduduki posisi penting dalm bidang pendidikan pada DePARTEMEN Agama, maupun setelah berada diluar jalur birokrasi. Pendidikan islam khususnya madrash dapat disebut sebagai “pendidikan rakyat” sesungguhnya. Karena ketika pendidikan umum sejak jaman Belanda begitu sulit dimasuki anak-anak kaum santri dan cenderung dijauhi banyak kalangan keluarga santri, maka madrasah baik yang ada dilingkungan pesantren maupun berdiri secara independent di bawah yayasan pendidikan islam tertentu-maka pendidikan islam hamper menjadi satu-satunya alternative pendidikan bagi bant\yak keluarga Muslim.
Salah cirri penting pendidikan islam sebagai pendidikan rakyat adalah bahwa ia merupakan pendidikan yang murah dan, karena itu, dapat dijangkau siapa saja. Hal ini karena, beban pembiayaan pendidikan sebagian besarnya dipikul oleh komunitas Muslim sendiri. Karena itu pulalah hingga sekarang, sebagian basar pendidikan islam merupakan milik swasta Muslim. Dengan demikian, pendidikan islam sebagian besarnya merupakan lembaga pendidikan yang otonom vis-à-vis Negara.

Wacana Pendidikan Kritis
“pendidikan kritis”, hemat saya, memiliki setidak-tidaknya dua dimensi: pertama, dimensi internal yang berkaitan dengan dunia pendidikan itu sendiri, kelembagaan,kandungan atau muatan pendidikan, dan terakhir, proses-proses pendidikan yang berlangsung di dalamnya. Dan, kedua, dimensi eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar pendidikan yang bagaimanapun mempengaruhi dunia pendidikan secara keseluruhan.
Secara internal, pendidikan kritis pada dasrnya mempresentasikan gugatan terhadap dinia pendidikan, yang dinilai telah gagal melahirkan peserta didik yang kompeten baik dari segi keilmuan,keahlian,keterampilan, dan keahlian baik untuk kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas.
Hemat saya, pada satu pihak, illich dengan analisanya yang tajam, mampu menelanjangi kebrobrokan dan kelemahan sistem persekolahan, tetapi pada pihak lain, dia tidak mampu memberikan alternatif yang tepat bagi pemecahannya. Alternatif yang ditawarkan denagn menciptakan “jaringan belajar” (learnig webs) mengandung banyak kelemahan. Dengan demikian, ia tetap mengandung banyak diskriminasi dan kelemahan-kelemahan lain, seperti kelembagaan sekolah yang dikecam habis oleh illich sendiri.

Pendidikan Kritis dan Demokrasi
Terlepas dari berbagai kritik dan keberatan terhadap gagasan-gagasan pendidikan kritis seperti di atas, wacana pendidikan kritis pada dasarnya dapat dijadikan starting point tidak hanya untu membangaun system pendidikan yang lebih adil dan berhasil guna, tetapi juga untuk mendorong “demokratisasi” dunia pendidikan secara keseluruhan. Wacana pendidikan kritis, dengan, demikian, merupakan kontribusi penting tidak hanya pada dunia pendidikan dan persekolahan, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan demokratis baik pada tingkat pendidikan, kemasyarakatan, dan Negara-negara secara keseluruhan.
Demokratisasi pemdidikan yang menjadi salah satu gagasan kunci dalam wacana pendidikan kritis dapat dikatakan merupakan salah satu prasyrat penting bagi pertumbuhan sistem politik demokrasi. Perubahan atau trnsformasi realitas politik itu semakin signifikan dan kontekstual bagi Negara-negara berkembang yang tengah berada dalam proses transisi menuju demokrasi dan padam gilirannya bertujuan membentuk civil society seperti indonesia.
Banyak perkembangan terjadi di Indonesia sejak jatuhnya President Soeharto dari kekuasaan yang dipegangnya selama lebih tiga dasawarsa menuju kea rah pengembangan demokrasi. Menurut hemat saya, mengalami demokrasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia umumnya. Memang betul, mengalami demokrasi sangat boleh jadi akan melibatkan proses trial and error demokrasi bisa dipahami. Lebih berbahaya lagi, trial and error dalam proses demokratisasi dapat memunculkan biaya social, politik, dan ekonomi yang sangat mahal bagi Negara-bangsa Indonesia.

Pendidikan Demokrasi dan Kewargaan
Sebagaimana diakui semakin banyak pakar tentang demokrasi pada level international, cara paling strategis untuk “mengalami” demokrasi ialah melalui apa yang disebut “democracy education”. Pendidikan demokrasi secara substantive menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, system, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan.
Pendidikan demokrsi tidak hanya urgen bagi Negara-negara yang sedang berada dalam transisi menuju demokrasi seperti Indonesia, tetapi juga bagi Negara-negara mapan demokrasinya. Tetapi harus segera diakui, para ahli pendidikan kewargaan umumnya sepakat bahwa peranan pendidikan kewargaan dalam pengembanagan demokrasi dan kewargaaan demokratis telah jelas, tetapi dlam praktiknya masih terdapat perbedaan-perbedaan. Mereka sepakat, bahwa demokrasiyang tengah tumbuh memerlukan sarana dimana generasi muda umumnya dapat menjadi tahu dan sadar tentang pengetahuan,keahlian, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlikan untuk menyangga, memelihara dan melestarikan demokrasi.
Pendidikan demokrasi dalam segi-segi tertentu identik dengan ‘pendidikan kewargaan”. Tetapi, sebagaimana dijelaskan di atas terlihatbahwa pendidikan kewargaan sangat luas cakupannya daripada sekadar pendidikan demokrasi.

Equivalensi Pendidikan Kewargaan
Mempertimbangkan perkembnagan demokrasi education, civic education, dan citizenship education yang relative baru menemukan momentumnya di bebrapa Negara barat, maka Indonesia sebenarnya sangat beruntung Karen sudah berpengalaman lama dalam bidang ini. Secara substantive, subjek ini sebagian besarnya telah tertampung dlam mata pelajatan PPKn yang sejak 1994 berlaku mulai tingkat SD sampai SMU. Mata pelajaran ini merupakan pengganti mata pelajaran PMP yang diterapkan sejak 1975 sampai 1994. pada tingkat Perguruan Tinggi equivalensinya adalah mata kuliah Pancasila dan kewiraan.


BAB 13. Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi di Dunia Muslim

Kurkulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah (madrasah), dan pengawas pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Lebih dari itu, kurikulum merupakan penejawatan dari tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Dengan demikian harus terdapat perbedaan antara kurikulum MI, MTs, dan MA. Kurikulum MI dan MTs, sebgai pendidikan dasar lebih menekankan pada transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak, sedangka MA selain kedua hal ini juga menekankan pembentukan dan pembinaan keterampilan yang kini popular sebagai life skills
Sentralisme yamg sangat menonjol dalam kurikulum yamg dikeluarkan Depdiknas yang kemudian “dilengkapi” dengan “kurikulum Depag” mestilah disederhanakan. Selebihnya muatan kurkulum itu harus didesentralisasikan, sehingga memberikan peluang leih besar dan maksimal bagi daerah dan sekolah/madrasah untuk merumuskan kurikulumnya sendiri berdasarkan kepentingan stakeholders di daerah.
Model kedua adalah model Universitas Islam Antar-Bangsa baik di Islamabad, Pakistan, maupun di kuala Lumpur, Malaysia, model ini menwarkan kelembagaan keilmuan-selanjutnya fakultas-fakultas dan jurusan-dengan klasifikasi faculty of revealed knowledge, fakultas-fakultas ilmu non wahyu , seperti ekonomi, teknik, dan sebagainya.
Model ketiga adalah model IAIN. Dalam model ini, ilmu-ilmu agama menjadi titik tolak yang mrupakan inti seluruh wacana dan proses keilmuan dan akademis. Sedangkan ilmu-ilmu umum menjadi suplemen dan pelengkap yang terintegrasi sepenuhnya kedalm kurikulum. Masalah pada model ketiga ini adlah secara institusional IAIN dipandang dan diperlakukan sebagai perguruan tinggi “murni agama” terlepas dari kenyataan bahwa kurikulumnnya dan bahkan kelembagaannya juga mencakup jurusan-jurusan umum.
Dari sudut ekspektasi akademis keilmuan keislaman, maupun harapan social setiap peserta/lulusan PPS IAIN mesti memiliki pengetahuan umum tentang Islam. Pengalaman dan oservasi baik terhadap peserta test masuk PPS maupun mereka yang akan menyelesaikan programnya-baik S2 maupun S3- menunjukan terdapat cukup banyak di antara mereka yang memiliki pengetahuan yang sangat minimal tentang Islam umumnya. Banyak di antara mereka selain tidak memiliki pengetahuan memedai tentang Islam secara umum, juga sebagai konsekuensinnya tidak mampu menjelaskan Islam secara baik. Untuk itu maka diperlukan kebijaksanaan khusus, baik pada testing masuk, maupun selama perkuliahan dan menjelang penyelesaian program.
Kompetensi keahlian dalam bidang yang sesuai dengan konsentrasi dalam kasus-kasus tertentu juga tidak memadai. Hal ini selain disebabkan kurang terjadinya tenaga dosen yang memang ahli dalam bidang tersebut, juga karena komposisi kurikulum yang tidak memadai untuk menunjang pembentukan keahlian. Kompetensi dalam penelitian sampai saat ini jelas terlihat masih lemah. Kelemahan ini terkait bukan hanya dengan kelemaham dalam penguasaan metodologi penelitian, tetapi juga karena minimalnya pengetahuan peserta PPS dalam ilmu-ilmu lain yang merupakan ilmu-ilmu Bantu dalam melakukan penelitian.
Hal yang tak kurang pentingnya bagian lain dari “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip disini adalah tentang peran etik, otonomi, tanggung jawab dan fungsi antisipaif PT. penting dicatat, di samping penekanan yang kuat kepada fungsi-fungsi PT vis-à-vis masyarakat pada umumnya, PT juga dituntut menjadikan para mahasiswa sebagai actor-aktor utama; atau dengan kata lain, mengembangkan PT yang menjadikan mahasiswa sebagai “pasat’ atau “orientasi” dalam seluruh kegiatannya.
Paradigma baru PT itu pada dasarnya bertumpu kepada tiga tungku utama, yakni: Pertama, greater autonomy, kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi. Kedua, greater quality accountability, akuntabilitas atau tanggung urai, bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggung jawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Ketiga, greater quality assurance; jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan; dan evaluasi eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional(BAN).


BAB 14: Peberdayaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, jakarta, merupakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang khas. Ia bukan hanya sekedar LPTK yang bersifat umum-seperti IKIP yang kini sebagian besar telah menjadi universitas- tetapi LPTK yang bertitik tolak dari pandangan filosofis dan paradigma keilmuan dan kependidikan Islam.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi Fakultas Tarbiyah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan LPTK lainnya, menghadapi tantangan yang berkenaan dengan realitas yang dihadapi produk yang dihasilkannya, tegasnya guru. Profesi guru, harus diakui, tidak lagi diminati anak-anak bangsa terbaik. Masih baynyaknya calon mahasiswa ke Fakultas Tarbiyah tidaklah menceerminkan bahwa fakultas ini memang betul0betul favorit. Pemilihan Fakultas Tarbiyah atau LPTK lainnya lebih didasarkan pertimbangan pragmatis, bahwa sedikitnya ia dapat “menjanjikan” lapangan kerja yang sedikit lebih mungkin dibandingkan fakultas-fakultas lain.
Hingga saat ini, LPTK umumnya termasuk Fakultas Tarbiyah, masih menganut paradigma, technical based teacher education, pendidikan ke(guru)an yang berbasiskan hal-hal teknis tentang pengajaran. Sementara, penuasaan substansi keilmuan yang lebih mendalam-yang bahkan lebih krusial bagi keberhasilan transfer of knowledge kepada peserta didik menjadi cenderung diabaikan. Dan ini pulalah yang kemudian menjadi salah satu alas an lagi bagi banyak IKIP untuk mengubah diri menjadi universitas, sehingga lebih memungkan bagi pengembangan orientasi dan konsentrsi pada bidang-bidang yang disebut sebagai “ilmu murni” bukan keguruan.
Dengan demikian, LPTK khususna Fakultas Trabiyah harus meninjau kembali kurikulum dan PBM yang diselenggarakannya. Kurikulum dan PBM pada Fakultas Tarbiyah hendaknya berorientasi pada pembinaan lulusan yang memiliki berbagai kompetensi; pertama, kompetensi keilmuan yang mencakup “kecerdasan intelektual” sehingga ia mampu mentransfer ilmu dan pengetahuan secara benar dan baik; kedua, kompetensi professional agar ia dalam menyelenggarakan PBM yang efektif; ketiga, kompetensi personal yang mencakup “kecerdasan intelektual” dan “kecerdasan spiritual” agar ia dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya.


BAB 15: Kelompek “Sempalan” di Kalangan Mahasiswa PTU

Kemunculan dan perkembangan kelompok “sempalan” yang cenderung eksklusif, eksterm, dan radikal dalam islam memiliki akar histories yang amat kompleks. Dalam tulisan ini akan dibahas akar-akar histories kelompok sempalan yang dalam pengamatan sementara cenderung tumbuh dan berkembang lebih subur dikalangan “mahasiswa umum”.

Kecenderungan Keagamaan Mahasiswa
Sebelum kita melangkah lebih jauh, berdasarkan pengamatan selintas, terhadap kehidupan keagamaan di kalangan mahasiswa pada umumnya. Sebagian besar mahasisiwa, dapat dipastikan, mengikuti mainstream keagamaaan masyarakat Muslim. Mayoritas kelompok basar ini, juga dapat dipastikan, memahami dan melaksanakan agama secara “tradisional” dan “konvensional”. Kelompok kedua adalah mahasiswa yang merasa perlu mengembangkan diri, dalam konteks keagamaan, untuk meningkatkan pemahaman mereka Islam, dan dalam konteks akademis, untuk meningkatkan kemampuan organisasi dan keterampilan ilmiah. Kelompok ketiga, yang menjadi inti pembahasan kita. Yakni kemunculan kelompok-kelompk mahasiswa yang lebih berorientasi kepada Islam. Kemunculan mereka dalam tahap pertama ditandai dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil yang pada paro pertama dasawarsa 1980-an dulu popular di Indonesia sebagai usrah.
Meskipun secara harfiah, istilah ini sederhananya berarti “keluarga”, secara konseptual dan actual usrah merupakan unit kecil dari sebuah gerakan lebih luas. Tidak begitu jelas, apakah usrah yang berkembang di Indonesia pada dasawarsa 1980-an itu mempunyai kerangka organisasi yang lebih luas. Usrah-usrah yang disebutkan terakhir ini, dengan demikian, lebih merupakan usrah-usrah local, yang dibentuk oleh kepemimpinan tertentu dengan tujuan yang relatf terbatas. Kelompok usrah seperti ini meski eksklusif pada dasrnya tidak mengkhawatirkan; atau tidak akan mendatangkan “bahaya” keagamaan, social, dan politik.
Tetapi usrah-usrah yang dalam satu dan lain hal mempunyai koneksi dan jaringan internasional, mempunyai agenda-agenda yang jauh lebih luas (cf. Azra, 1996a; 1997b). Diantara agenda mereka adalah penciptaan apa yang mereka sebut sebagai al-nizham Al-islami secara total dan menyeluruh. Usrah-usrah seperti ini sangateksklusif dan pada dasarnya sangat radikal.

Kompleksitas Kontemporer
Kompleksitas itu pada dasarnya bukan terletak pada doktrin; karena secara doctrinal kelompok sempalan, khususnya yang ekstrem dan radikal tersebut umumnya mengikuti pola dan paradigma teologis kaum Khawarij. Salah satu penyebab kompleksitas ini dan bahkan gerakan Islam pada umumnya di masa modern dan kontemporer itu adalah faktor Eropa atau Barat pada umumnya. Bagi kelompok ekstrem dan radikal umumnya, Barat merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan kaum muslimin.



Akar Historis dan Doktrinal
Kemunculan kelompok-kelompok sempalan yang ekstrem dan radikal dalam kalangan muslimin berakar justru bukan dari doktrin agama islam itu sendiri, melainkan dari politik di antara kaum muslimin tidak lama setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Dalam masa pemerintahan Ustman IBN Affan, terjadi konflik di antara kaum muslimin. Terdapat pihak-pihak yang memprotes Ustman, yang dianggap telah melakukan politik nepotisme, karena beberapa anggota kabilahnya muncul menempati posisi penting dalam pemerintahan. Ustman akhirnya mengalami nasib tragis, terbunuh ditngan kelompok yang memprotes dan memberontak terhadap pemerintahannya.
Tewasnya Ustman memunculkan konflik yang berpuncak pada pecahnya perang siffin di antara pendukung Ali yang diangkat oleh kaum muslimin sebagai khlifah keempat melawan barisan Mu’awiyah yang memprotes dan menuntut agar persoalan pembunuhan Uatman diselesaikan terlebih dahulu. Perang itu hampir di menangkan aleh barisan Ali ibn Abi Thalib, tapi pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian, yang kemudian diterima oleh Ali.
Penerimaan perdamaian ini merupakan asal-usul kemunculan kelompok ekstrem dan radikal yang pertama di antara kaum Muslimin.kelompok ini dikenal sebagai kaum “khawirij”, secara harfiah berarti “orang-orang yang keluar. Sebaliknya mereka yang tetap mendukung kemudian dikenal sebagai Syiah yang secara harfiah berarti “partai” atau “kelompok” (Ali ibn Abi Thalib).

Kelompok Khawirij, dengan demikan keluar dari mainstream kaum Muslimin, dan melakukan kegiatan-kegiatan subversive di bawah tanah untuk menumbangkan para khalifah dan para penguasa Muslim lainnya,yang mereka pandang telah “kafir” dan “berhukum dengan hokum-hukum selain hukum yang di turunkan Allah.

Relevansi dengan Politik Indonesia
Tidak seluruh kelompok “sempalan: di atas merupakan kelompok sempalan dalam pengertian “menyimpang” dari doktrin Islam. Namun demikian, pertanyaan yang tetapmenggayut adalah; apakah ada relevansi antara kelompok sempalan yang ekstrem dan radikal yang tumbuh dan berkembang di Indonesia?
Terlepas dari eksistensi kelompok sempalan seperti itu, dalam pandangan saya mereka tidak relevan dengan kaum muslimin Indonesia.

Senin, 25 Mei 2009

pendidikan layanan khusus

Artikel 1
Upaya Pemberian Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Selalu berkatalah ya pada anak. Jarang didapati guru yang demikian ini. Rata-rata mereka melarang siswa-siswanya melakukan sesuatu. Contoh jangan manjat pagar nanti jatuh, jangan main api nanti terbakar dan sebagainya. Padahal siswa saat melakukan hal tersebut pada kondisi senang dengan hal baru, menemui keasyikan dan mencoba untuk belajar dari hal tersebut. Pada tarap belajar inilah nantinya akan timbul suatu kreativitas pada diri siswa tersebut. Mereka akan berhenti jika ternyata api itu panas, ataupun tidak akan melakukan lagi ketika mereka jatuh dari suatu pagar tersebut. Larangan-larangan semacam ini tentunya dapat mematikan kreativitas siswa. Siswa akan selalu dalam lingkaran ketidaktahuan, ketakutan, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Namun kadang guru sendiri tidak menyadari akan hal ini. Seharusnya untuk hal-hal baru seperti diatas siswa diberi kesempatan untuk mencoba melakukan sementara guru tetap memberi pengawasan sehingga siswa dapat bereksperimen dengan aman. Guru tidaklah selalu bersikap sebagai petugas hukum di lingkungan sekolah. Di mana biasanya guru yang membuat peraturan. Kemudian mereka pula yang memberi sanksi atau hukuman pada siswanya, jika siswa melakukan suatu kesalahan, misalnya dengan disuruh lari mengitari halaman, berdiri di depan kelas, memukul dengan sabuk atau tindakan lain yang lebih mengarah pada hukuman fisik. Sebenarnya guru dapat bersikap lebih demokratis pada siswa, mencoba membicarakan dengan siswa hal-hal apa saja yang baik dapat mereka lakukan, mana yang baik dan mana yang tidak. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan mengklarifikasi antara hal yang baik dan yang tidak untuk kemudian disusun sebagai suatu peraturan secara bersama dan demokratis. Dalam menentukan hukuman hendaknya juga dengan sikap yang demokratis. Cobalah siswa untuk menentukan hukuman sendiri sebagai sikap pertanggungjawaban terhadap kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi. Guru harus mampu menyediakan media untuk siswanya sebagai upaya untuk menelurkan siswa yang cerdas dan kreatif. Pernyataan tersebut selaras dengan teori teori pendekatan ekologis dan genetis yang diungkapkan oleh Spiel (1994), Oerter (1992), Scarr&Mc. Cartney (1982). Menurut pandangan mereka, perkembangan siswa selalu berupa interaksi antara bakat (genotip) dan lingkungan. Setidaknya ada tiga hasil interkasi genotip dan lingkungan (Kartono, tahun 1995:119). Pertama, adanya hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat pasif. Hal ini timbul karena guru memberi lingkungan yang sesuai dengan bakat mereka sendiri. Misalnya guru yang gemar musik akan selalu memberikan lingkungan musik pada siswanya sehingga siswa sejak awal hidup dalam lingkunga musik tersebut. Kedua, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat evokatif . Hal ini timbul karena siswa dengan bakat berbeda-beda menimbulkan berbagai macam reaksi terhadap lingkungan sosialnya. Contohnya siswa masa usia sekolah sering melakukan hal-hal yang seenaknya saja sehingga menimbulkan perhatian pada orang lain yang mempengaruhi perilakunya sendiri lagi. Ketiga, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat aktif. Hal ini timbul karena seseorang memilih lingkungan yang cocok dengan pribadinya sendiri. Kebanyakan terjadi pada usia remaja dan sering dilakukan bersama-sama dengan pencarian identitas ego atau citra diri atau jati diri. Terkait dengan hal di atas, ada beberapa landasaran yuridis formal yang mendasari upaya untuk memberikan hak-hak pada anak berkebutuhan khusus, diantaranya yaitu : 1. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang hak mendapat pendidikan. 2. UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 3, 5 dan 32 tentang pelayanan pendidikan khusus. 3. UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 48, 49, 50, 51, 52, 53 4. UU No. 4 tahun 1997 pasal 5 tentang penyandang cacat. 5. Deklarasi Bandung (Nasional) "Indonesia menuju pendidikan inklusif" 8-14 Agustus 2004. Sejalan dengan hal tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 menetapkan konfensi hak anak termasuk di dalamnya hak anak yang berkebutuhan khusus, di antaranya: 1. Dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dinyatakan bahwa masa kanak-kanak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus. 2. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-hak anak, "anak karena tidak memiliki kematangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran." 3. Di semua negara bagian di dunia, ada anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sulit, dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus. Menurut Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan pemerintah (Suyanto, 2005:225) oleh karena itu upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak yang berkebutuhan khusus hendaknya melibatkan : (1) kerja sama dengan orang tua, (2) kerja sama antara guru, (3) kerja sama organisasi profesional, (4) kerja sama dengan masyarakat. Dari berbagai upaya di atas diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan hak-haknya. Sehingga anak tidak akan kehilangan hak-haknya untuk mengembangkan potensi secara optimal. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensinya seperti anak-anak lain untuk membekali hidupnya serta dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungan, dan masyarakat.



Artikel 2
Pendidikan Layanan Khusus Kesulitan Guru

Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.
Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).
Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.
”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.
Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.
Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.
Tumbuh dari masyarakat
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.
Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.
Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.
Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.
Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.
”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.
Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.
Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)



Artikel 3
Peran Guru Kelas Dalam Pelaksanaan Bimbingan Konseling Di Sekolah Dasar


Bimbingan adalah suatu proses yang terus-menerus untuk membantu perkembangan individu dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1990:11). Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik sebuah inti sari bahwa bimbingan dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada individu agar dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin, dan membantu siswa agar memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan merealisasikan dirinya (self realization). Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno, 1997:106). Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada seseorang supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39). Dari pengertin tersebut, dapat penulis sampaikan ciri-ciri pokok konseling, yaitu: (1) adanya bantuan dari seorang ahli, (2) proses pemberian bantuan dilakukan dengan wawancara konseling, (3) bantuan diberikan kepada individu yang mengalami masalah agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah guna memperbaiki tingkah lakunya di masa yang akan datang.2. Perlunya Bimbingan dan Konseling di SD Jika ditinjau secara mendalam, setidaknya ada tiga hal utama yang melatarbelangi perlunya bimbingan yakni tinjauan secara umum, sosio kultural dan aspek psikologis. Secara umum, latar belakang perlunya bimbingan berhubungan erat dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu: meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Untuk mewujudkan tujuan tersebut sudah barang tentu perlu mengintegrasikan seluruh komponen yang ada dalam pendidikan, salah satunya komponen bimbingan. Bila dicermati dari sudut sosio kultural, yang melatar belakangi perlunya proses bimbingan adalah adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sehingga berdampak disetiap dimensi kehidupan. Hal tersebut semakin diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, sementara laju lapangan pekerjaan relatif menetap. Menurut Tim MKDK IKIP Semarang (1990:5-9) ada lima hal yang melatarbelakangi perlunya layanan bimbingan di sekolah yakni: (1) masalah perkembangan individu, (2) masalah perbedaan individual, (3) masalah kebutuhan individu, (4) masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku, dan (5) masalah belajar3. Fungsi Bimbingan dan Konseling di SD Sugiyo dkk (1987:14) menyatakan bahwa ada tiga fungsi bimbingan dan konseling, yaitu: a. Fungsi penyaluran ( distributif ) Fungsi penyaluran ialah fungsi bimbingan dalam membantu menyalurkan siswa-siswa dalam memilih program-program pendidikan yang ada di sekolah, memilih jurusan sekolah, memilih jenis sekolah sambungan ataupun lapangan kerja yang sesuai dengan bakat, minat, cita-cita dan ciri- ciri kepribadiannya. Di samping itu fungsi ini meliputi pula bantuan untuk memiliki kegiatan-kegiatan di sekolah antara lain membantu menempatkan anak dalam kelompok belajar, dan lain-lain. b. Fungsi penyesuaian ( adjustif ) Fungsi penyesuaian ialah fungsi bimbingan dalam membantu siswa untuk memperoleh penyesuaian pribadi yang sehat. Dalam berbagai teknik bimbingan khususnya dalam teknik konseling, siswa dibantu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitannya. Fungsi ini juga membantu siswa dalam usaha mengembangkan dirinya secara optimal. c. Fungsi adaptasi ( adaptif ) Fungsi adaptasi ialah fungsi bimbingan dalam rangka membantu staf sekolah khususnya guru dalam mengadaptasikan program pengajaran dengan ciri khusus dan kebutuhan pribadi siswa-siswa. Dalam fungsi ini pembimbing menyampaikan data tentang ciri-ciri, kebutuhan minat dan kemampuan serta kesulitan-kesulitan siswa kepada guru. Dengan data ini guru berusaha untuk merencanakan pengalaman belajar bagi para siswanya. Sehingga para siswa memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan bakat, cita-cita, kebutuhan dan minat (Sugiyo, 1987:14) 4. Prinsip-prinsip Bimbingan Konseling di SD Prinsip merupakan paduan hasil kegiatan teoretik dan telaah lapangan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan (Prayitno, 1997:219). Berikut ini prinsip-prinsip bimbingan konseling yang diramu dari sejumlah sumber, sebagai berikut: a. Sikap dan tingkah laku seseorang sebagai pencerminan dari segala kejiwaannya adakah unik dan khas. Keunikan ini memberikan ciri atau merupakan aspek kepribadian seseorang. Prinsip bimbingan adalah memperhatikan keunikan, sikap dan tingkah laku seseorang, dalam memberikan layanan perlu menggunakan cara-cara yang sesuai atau tepat. b. Tiap individu mempunyai perbedaan serta mempunyai berbagai kebutuhan. Oleh karenanya dalam memberikan bimbingan agar dapat efektif perlu memilih teknik-teknik yang sesuai dengan perbedaan dan berbagai kebutuhan individu. c. Bimbingan pada prinsipnya diarahkan pada suatu bantuan yang pada akhirnya orang yang dibantu mampu menghadapi dan mengatasi kesulitannya sendiri. d. Dalam suatu proses bimbingan orang yang dibimbing harus aktif , mempunyai bayak inisiatif. Sehingga proses bimbingan pada prinsipnya berpusat pada orang yang dibimbing. e. Prinsip referal atau pelimpahan dalam bimbingan perlu dilakukan. Ini terjadi apabila ternyata masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan oleh sekolah (petugas bimbingan). Untuk menangani masalah tersebut perlu diserahkan kepada petugas atau lembaga lain yang lebih ahli. f. Pada tahap awal dalam bimbingan pada prinsipnya dimulai dengan kegiatan identifikasi kebutuhan dan kesulitan-kesulitan yang dialami individu yang dibimbing. g. Proses bimbingan pada prinsipnya dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan yang dibimbing serta kondisi lingkungan masyarakatnya. h. Program bimbingan dan konseling di sekolah harus sejalan dengan program pendidikan pada sekolah yang bersangkutan. Hal ini merupakan keharusan karena usaha bimbingan mempunyai peran untuk memperlancar jalannya proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. i. Dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah hendaklah dipimpin oleh seorang petugas yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidang bimbingan. Di samping itu ia mempunyai kesanggupan bekerja sama dengan petugas-petugas lain yang terlibat. j. Program bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya senantiasa diadakan penilaian secara teratur. Maksud penilaian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program bimbingan. Prinsip ini sebagai tahap evaluasi dalam layanan bimbingan konseling nampaknya masih sering dilupakan. Padahal sebenarnya tahap evaluasi sangat penting artinya, di samping untuk menilai tingkat keberhasilan juga untuk menyempurnakan program dan pelaksanaan bimbingan dan konseling (Prayitno, 1997:219). 5. Kegiatan BK dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi Berdasakan Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling (2004) dinyatakan bahwakerangka kerja layanan BK dikembangkan dalam suatu program BK yang dijabarkan dalam 4 (empat) kegiatan utama, yakni: a. Layanan dasar bimbingan Layanan dasar bimbingan adalah bimbingan yang bertujuan untuk membantu seluruh siswa mengembangkan perilaku efektif dan ketrampilan-ketrampilan hidup yang mengacu pada tugas-tugas perkembangan siswa SD. b. Layanan responsif adalah layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta didik saat ini. Layanan ini lebih bersifat preventik atau mungkin kuratif. Strategi yang digunakan adalah konseling individual, konseling kelompok, dan konsultasi. Isi layanan responsif adalah: (1) bidang pendidikan; (2) bidang belajar; (3)bidang sosial; (4) bidang pribadi; (5) bidang karir; (6) bidang tata tertib SD; (7) bidang narkotika dan perjudian; (8) bidang perilaku sosial, dan (9)bidang kehidupan lainnya.c. Layanan perencanaan individual adalah layanan bimbingan yang membantu seluruh peserta didik dan mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan, karir,dan kehidupan sosial dan pribadinya. Tujuan utama dari layanan ini untuk membantu siswa memantau pertumbuhan dan memahami perkembangan sendiri. d. Dukungan sistem, adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara dan meningkatkan progam bimbingan secara menyeluruh. Hal itu dilaksanakan melalui pengembangaan profesionalitas, hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasihat, masyarakat yang lebih luas, manajemen program, penelitian dan pengembangan (Thomas Ellis, 1990) Kegiatan utama layanan dasar bimbingan yang responsif dan mengandung perencanaan individual serta memiliki dukungan sistem dalam implementasinya didukung oleh beberapa jenis layanan BK, yakni:(1) layanan pengumpulan data, (2) layanan informasi, (3) layanan penempatan, (4) layanan konseling, (5) layanan referal/melimpahkan ke pihak lain, dan (6) layanan penilaian dan tindak lanjut (Nurihsan, 2005:21).6. Peran Guru Kelas dalam Kegiatan BK di SD Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh karena itu peranan guru kelas dalam pelaksanaan kegiatan BK sangat penting dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu: a. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum. b. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain. c. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar. d. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. e. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar. f. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan. g. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar. h. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa. i. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.

Artikel 4
Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus

Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.

Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.

Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)

Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.

Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.

Artikel 5
Siswa SLB Kesulitan Transportasi
Minimnya transportasi bagi siswa sekolah luar biasa (SLB) di Muaraenim menjadi kendala serius.
Selain tidak tersedianya angkutan resmi, jauhnya jarak sekolah yang mencapai 10 km dari pusat Kota Muaraenim juga harus mendapatkan perhatian serius dari Pemkab Muaraenim. Salah seorang wali murid,Sutisna, 36, warga Tanjung Enim, mengaku sangat kesulitan saat akan mengantarkan anaknya ke sekolah.
Apalagi, sejak lokasi sekolah dipindahkan dari Kelurahan Tungkal ke Desa Kepur. Sebab, transportasi menuju sekolah ini belum tersedia. “Memang pemkab telah menyediakan satu unit kendaraan L300, tetapi hal itu masih sangat kurang, mengingat banyaknya jumlah murid.Tidak semua wali murid yang memiliki kendaraan sendiri.Pemerintah seharusnya tanggap mengenai hal ini,” ujar Sutisna kemarin.
Terpisah, Asisten III Setda Muaraenim Syahrul Ibrahim menerangkan, pihaknya terus mencarikan solusi terbaik bagi siswa SLB. “Kami terus memperhatikan perkembangannya. Pemkab Muaraenim tidak pernah tinggal diam untuk masalah ini.Transportasi siswa merupakan tanggung jawab Dinas Pendidikan,” katanya.
Menurut Syahrul, pihaknya telah menginstruksikan Dinas Pendidikan (Disdik) Muaraenim segera mencarikan solusi.Akhirnya, dari dua kendaraan operasional Disdik,salah satunya telah digunakan untuk transportasi siswa SLB. Minimnya kendaraan,diakuinya, membuat transportasi menuju SLB cukup sulit.
“Masalahnya, kendaraan L300 itu kerap berangkat satu kali dan sering tidak menunggu siswa-siswa lain. Memang kedatangan siswa tidak bersamaan, tetapi akhirnya lama- kelamaan menjadi lalai,”katanya. Setelah rapat koordinasi kemarin, pihaknya minta Disdik dapat lebih memperhatikan masalah transportasi ini.
Bahkan, pemkab telah mengajukan usulan untuk menyediakan satu buah bus angkutan di dalam Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Muaraenim.“ Akan kami perjuangan usulan tersebut,”ucapnya. Tahun ajaran ini, sebut dia, jumlah siswa SLB mencapai 54 orang, dengan rincian 43 orang yang mengalami cacat mental, 9 orang tunarungu wicara, 1 orang tunanetra, dan 1 orang cacat tubuh.
Sedangkan domisili tempat tinggal siswa, 29 di antaranya tinggal di Tanjung Enim, sisanya tersebar di Kecamatan Muaraenim. “Fasilitas belajar-mengajarnya pun sudah kami sesuaikan dengan sekolah biasa. Mereka tetap kami perhatikan.Bahkan,bantuan operasional sekolah (BOS) juga sudah dianggarkan.Ke depan, permasalahan transportasi secepatnya akan diselesaikan,” ungkapnya.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rin
Artikel 4
Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus

Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.

Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.

Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)

Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.

Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.

Artikel 5
Siswa SLB Kesulitan Transportasi
Minimnya transportasi bagi siswa sekolah luar biasa (SLB) di Muaraenim menjadi kendala serius.
Selain tidak tersedianya angkutan resmi, jauhnya jarak sekolah yang mencapai 10 km dari pusat Kota Muaraenim juga harus mendapatkan perhatian serius dari Pemkab Muaraenim. Salah seorang wali murid,Sutisna, 36, warga Tanjung Enim, mengaku sangat kesulitan saat akan mengantarkan anaknya ke sekolah.
Apalagi, sejak lokasi sekolah dipindahkan dari Kelurahan Tungkal ke Desa Kepur. Sebab, transportasi menuju sekolah ini belum tersedia. “Memang pemkab telah menyediakan satu unit kendaraan L300, tetapi hal itu masih sangat kurang, mengingat banyaknya jumlah murid.Tidak semua wali murid yang memiliki kendaraan sendiri.Pemerintah seharusnya tanggap mengenai hal ini,” ujar Sutisna kemarin.
Terpisah, Asisten III Setda Muaraenim Syahrul Ibrahim menerangkan, pihaknya terus mencarikan solusi terbaik bagi siswa SLB. “Kami terus memperhatikan perkembangannya. Pemkab Muaraenim tidak pernah tinggal diam untuk masalah ini.Transportasi siswa merupakan tanggung jawab Dinas Pendidikan,” katanya.
Menurut Syahrul, pihaknya telah menginstruksikan Dinas Pendidikan (Disdik) Muaraenim segera mencarikan solusi.Akhirnya, dari dua kendaraan operasional Disdik,salah satunya telah digunakan untuk transportasi siswa SLB. Minimnya kendaraan,diakuinya, membuat transportasi menuju SLB cukup sulit.
“Masalahnya, kendaraan L300 itu kerap berangkat satu kali dan sering tidak menunggu siswa-siswa lain. Memang kedatangan siswa tidak bersamaan, tetapi akhirnya lama- kelamaan menjadi lalai,”katanya. Setelah rapat koordinasi kemarin, pihaknya minta Disdik dapat lebih memperhatikan masalah transportasi ini.
Bahkan, pemkab telah mengajukan usulan untuk menyediakan satu buah bus angkutan di dalam Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Muaraenim.“ Akan kami perjuangan usulan tersebut,”ucapnya. Tahun ajaran ini, sebut dia, jumlah siswa SLB mencapai 54 orang, dengan rincian 43 orang yang mengalami cacat mental, 9 orang tunarungu wicara, 1 orang tunanetra, dan 1 orang cacat tubuh.
Sedangkan domisili tempat tinggal siswa, 29 di antaranya tinggal di Tanjung Enim, sisanya tersebar di Kecamatan Muaraenim. “Fasilitas belajar-mengajarnya pun sudah kami sesuaikan dengan sekolah biasa. Mereka tetap kami perhatikan.Bahkan,bantuan operasional sekolah (BOS) juga sudah dianggarkan.Ke depan, permasalahan transportasi secepatnya akan diselesaikan,” ungkapnya.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana.
ci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana.

pendidikan khusus

Artikel 1
Pendidikan Kebutuhan Khusus sebagai sebuah Disiplin Ilmu di Universitas

Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu universitas dapat dikatakan sebagai fenomena abad ke-20. Namun, pengetahuan tentang pendidikan kebutuhan khusus memiliki akar sejarah di zaman Mesir kuno lebih dari tiga ribu tahun yang lalu tentang pendidikan bagi orang tunanetra. Sejauh yang diketahui, buku pertama tentang metodologi pendidikan khusus adalah tentang pengajaran bagi penyandang tunarungu. Metodologi tersebut dikembangkan di Spanyol pada awal abad ke-17, kemungkinan ditulis pada akhir abad berikutnya.
Selama abad ke-18 muncul minat yang lebih berorientasi filosofi terhadap hubungan antara persepsi indera dan kognisi, dengan John Locke (1632-1704) sebagai tokoh utamanya. Sebagaimana dijelaskan secara singkat dalam salah satu artikel dalam buku ini,17 minat yang cukup intelektual ini berkembang menjadi upaya-upaya pendidikan yang konkret. Pertanyaan-pertanyaan mengenai bila dan bagaimana orang tunarungu atau tunanetra dapat belajar diinvestigasi, dan program pelatihan yang konkret bagi anggota keluarga
yang mempunyai hak-hak istimewa dikembangkan dan dilaksanakan. Tempat pertemuan untuk kegiatan-kegiatan ini adalah di Paris. Sedikit demi sedikit bermacam-macam program pelatihan dikembangkan, pada awalnya dalam bidang kecacatan sensori, dan kemudian juga difokuskan pada mereka yang menyandang ketunagrahitaan, kesulitan komunikasi dan berbahasa serta penyakit mental. Semakin banyak ahli dari berbagai negara berpartisipasi aktif dalam perdebatan yang penuh semangat tentang metode terbaik untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan khusus (Enerstvedt 1996;
Johnsen 1998/2000; 2001).
Eduard Seguin (1812-1880) dari Perancis merupakan salah seorang perintis dalam bidang ketunagrahitaan, yang kemudian melanjutkan pekerjaannya itu di Amerika Serikat. Dia memulai pendidikan guru di sekolah khususnya. Pada peralihan abad ke-20 berbagai seminar dan lembaga di bidang pendidikan kebutuhan khusus diselenggarakan di beberapa kota Eropa seperti di Budapest pada tahun 1898 dan Berlin pada tahun 1927. Di beberapa negara, pendidikan guru pendidikan khusus tampaknya dimulai dengan penyelenggaraan berbagai kursus jangka pendek atau jangka panjang, yang terkait dengan sekolah khusus. Ini pula yang terjadi di Swedia, yang merupakan negara perintis dalam konteks Nordik ketika mereka memulai kursus jangka panjang bagi guru-guru pendidikan khusus di kelas-kelas remedial pada tahun 1926 (Askildt & Johsen 2001; Johnsen 2000).
Perkembangan di Rusia dan Soviet memerlukan perhatian khusus karena kondisi sosial dan politik yang spesifik pada waktu itu, ketika Lev Vygotsky (1896-1934) mengkontribusikan karya kepeloporannya. Sebagaimana di negara-negara Eropa Timur lainnya, kata defectology masih merupakan konsep resmi untuk pendidikan kebutuhan khusus. Konsep ini diperkenalkan ke dalam bahasa Rusia pada tahun 1912 dari istilah “pendidikan kuratif kontemporer” dari bahasa Jerman (Heilpedagogik). Konsep ‘defects’
dan ‘defectology’ juga digunakan dalam literatur Nordik dan Eropa lainnya serta dalam teks Amerika pada awal abad ke-20. Menjelang akhir masa Tsarist Rusia, beberapa sekolah khusus untuk anak-anak penyandang cacat sensori dan tunagrahita telah didirikan, yang mendidik kurang dari satu persen anak-anak penyandang cacat di dua kota besar, Moscow dan St. Petersburg. Pada tahun-tahun ketika pendidikan kebutuhan khusus sedang berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu, masyarakat Rusia harus memikul penderitaan Perang Dunia I seperti negara-negara lain, dan di samping itu
mereka mengalami Revolusi Komunis yang diikuti dengan perang saudara. Sebagai akibat dari masa kekacauan dengan kelaparan dan perang saudara, sejumlah besar anak muncul ke permukaan, anak-anak yang tidak memiliki rumah, yatim piatu atau diabaikan, dibiarkan bergelandangan. Jumlahnya diperkirakan sebanyak tujuh juta anak pada tahun 1921-22. sebagai akibat dari situasi ini, isi pendidikan kebutuhan khusus diperluas keluar dari pengajaran tradisional untuk anak-anak penyandang cacat sensori, kini mencakup pengajaran bagi anak-anak yang dibuang dan dilecehkan. Perspektif kepedulian sosial ini menjadi bagian yang menonjol dari tradisi pendidikan khusus di Soviet dan kemudian juga di Eropa Timur. Akibat dari revolusi tersebut, beberapa pendidik dalam pendidikan kebutuhan khusus dari masa pra-revolusi mendirikan sekolah-sekolah radikal, klinik dan institusi pengajaran untuk mempelajari fenomena pendidikan khusus dalam versi baru
yang diperluas sebagaimana disebutkan di atas. Ketika Universitas Negeri Moscow II menyelenggarakan lembaga penelitian ilmiah pada fakultas pendidikan pada tahun 1926-27, Vygotsky ditunjuk sebagai asisten direktur pada bagian defektologi. Ini menandai berdirinya pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu di Uni Sovyet.


Artikel 2
64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus


Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto."Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain."Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan."Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.

Artikel 3
Anak Berkebutuhan Khusus


Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.
Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi ”hari mereka yang berkebutuhan khusus”.
”Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka,” kata Ciptono.
Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk ”Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa” itu.
Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.
Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ”Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.”
Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.
Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.
Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).
Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).
VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang.
”Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Ciptono.
Orangtua mampu
Setelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.
Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.
Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982.
”Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,” katanya.
Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ”keras”. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan.
”Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan,” katanya.
Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.
Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ”hanya” memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.
Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.
”Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,” tutur Ciptono.
Tujuh rekor
Atas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.
Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.
Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional.
”Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini,” kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.
Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.
Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra.
”Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini,” kata Ciptono menambahkan.

Artikel 4
Tiongkok Percepat Pengembangan Pendidikan Khusus


Menurut laporan Kantor Berita Xinhua, kantor Dewan Negara dalam pemberithaunnya baru-baru ini menunjukkan, dewasa ini dan pada masa mendatang, Tiongkok akan mempercepat lebih lanjut pengembangan usaha pendidikan khusus dengan mengambil langkah konkret.

Menurut pemberitahuan tersebut, Tiongkok melaksanakan pendidikan wajib gratis untuk pelajar cacat, meningkatkan pembangunan sekolah pendidikan khusus, menyediakan bantuan dana kepada pelajar cacat pada periode pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, meningkatkan alokasi dana, dalam rangka menjamin sekolah pendidikan khusus beroprasi secara normal, memberantas buta huruf orang amgkatan muda yang cacat.

Pemberitahuan menyatakan, keuangan pusat akan terus mendirikan dana bantuan khusus untuk pendidikan khsuus. Pemerintah berbagai tingkat daerah perlu menambah dana bantuan khusus untuk pendidikan khusus, meningkatkan pendidikan sesuai dengan kepribadian mental dan kebutuhan khusus pelajar penyandang cacat, mengembangkan sepenuhnya pendidikan vokasional dan mendorong penempatan tenaga kerja penyandang cacat.


Artikel 5
Kurikulum Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lebih Kompleks


Jakarta, Kompas - Begitu standar isi dan standar kompetensi dikembangkan dalam kurikulum baru kelak, serta-merta terbentang berlapis tantangan di depan para pemangku kepentingan pendidikan. Sesuai tuntutan peningkatan mutu pendidikan, implikasi pengembangan kurikulum tersebut harus dibarengi pemenuhan komponen pendukung yang terstandar pula, mencakup infrastruktur persekolahan, pendidik, hingga proses.
Kalau selama ini jenjang dan satuan pendidikan untuk peserta didik yang normal saja belum semuanya terpenuhi secara terstandar, maka tantangan untuk pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus jauh lebih kompleks lagi, ujar Fauzia Aswin Hadis, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, di Jakarta.
Fauzia menguraikan, sasaran pendidikan khususselama ini disebut pendidikan luar biasa tak hanya anak-anak cacat, tetapi juga anak-anak jenius atau berpotensi akademik istimewa. Karena itu, perlu perhatian ekstra untuk menanganinya.
Ia menegaskan, langkah awal strategis adalah mengembangkan paradigma baru sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional. Terminologi pendidikan luar biasa harus diganti jadi pendidikan khusus. Standar isi, standar kompetensi, dan standar-standar pendukung lainnya pun perlu disesuaikan dengan kondisi peserta didik.
Ia mencontohkan, terhadap anak yang memiliki keterbatasan fisik—seperti kelemahan indera pendengaran, penglihatan, dan kekurangan anggota tubuh— tetap perlu diberi muatan akademis yang memungkinkan mereka berinklusi dengan peserta didik yang normal.
Secara umum, bekal kompetensi anak-anak berkebutuhan khusus perlu diberi muatan kejuruan, agar kelak bisa memiliki kecakapan hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Direktur Pendidikan Luar Biasa Depdiknas Ekodjatmiko Sukarso berkomentar, untuk menuju paradigma baru, implikasi kurikulum di pendidikan khusus tak hanya cukup tertuang dalam standar-standar rumusan BSNP.
Itu semua harus dikuatkan pada rencana strategis Departemen Pendidikan Nasional dalam konteks pemerataan akses-mutu pendidikan serta kemandirian lulusan, ujarnya.