Rabu, 18 Maret 2009

pendidikan informal

Artikel 1
Pendidikan informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidika

Artikel 2
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Salah satu kebijakan pemerintah disektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Sehingga anak-anak Indonesia tidak hanya mengenal pendidikan saat masuk sekolah dasar atau bahkan Taman Kanak-kanak, karena dari hasil penelitian dinyatakan bahwa perkembangan seorang anak akan sangat berpengaruh pada usia sekitar 4 tahun. Oleh karena itu pembinaan yang lebih dari sekedar pembinaan oleh orangtua di rumah tangga harus mendapat perhatian yang serius. Pembinaan yang dimaksud dapat di berikan pada institusi Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD, sebagaimana tertulis pada pasal 28 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. PAUD berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Keberagaman PAUD dari jalur dan jenis satuan pendidikannya merupakan suatu bentuk kemudahan dalam memilih alternatif pembinaan anak di bawah lima tahun. Sebagai orangtua tentu memerlukan pertimbangan-pertimbangan dalam "menyerahkan" anaknya yang masih balita pada suatu institusi pendidikan khusus. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar jika orangtua justru tidak memilih PAUD Formal seperti TK atau RA, tetapi justru lebih memilih PAUD Non Formal dan In Formal. Hal ini bukan berarti bahwa salah satu jalur PAUD lebih baik dari jalur PAUD yang lainnya. Kebebasan dalam memilih tempat pembimbingan seorang anak, ada di tangan orangtuanya.

Namun, yang menjadi kendala saat ini adalah bahwa masyarakat kita masih banyak yang kurang memahami arti penting dari PAUD itu sendiri. Selain itu juga didukung oleh belum adanya aturan yang menjadikan PAUD sebagai suatu tingkatan pendidikan yang harus ditempuh sebelum masuk Sekolah Dasar atau Taman Kanak-kanak. Selain itu, meskipun penyelenggaraan PAUD telah dapat dikatakan banyak dan tersebar, namun masih terkesan penyelenggaraan jalur PAUD yang lebih dominan adalah jalur formal yakni TK dan RA. Hal ini bukan tanpa alasan, tetapi lebih dikarenakan kondisi masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya akan PAUD non formal dan in formal tersebut. Menurut Direktur PAUD bahwa pada akhir tahun 2007 jumlah anak yang terlayani PAUD sebanyak 28 juta atau 48 persen. Dia menargetkan, pada 2009 minimal 53,9 persen anak usia 0-6 tahun terlayani PAUD

Artikel 3

PAUD Non Formal dan In Formal Hubungannya dengan Pembentukan Etika Anak

Penyelenggaraan PAUD tentu akan semakin berkembang jika didukung oleh semua pihak. Pemberdayaan serta dukungan masyarakat sangat diandalkan untuk mengembangkan PAUD. Kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD menjadikan masyarakat itu sendiri yang merasa membutuhkan keberadaan program PAUD. Sebenarnya, jika kita menghubungkan dengan pembinaan seorang anak termasuk etikanya, maka PAUD seharusnya diterapkan pada anak sejak ia lahir atau pada saat usia 0 (nol) tahun. Kita ketahui bahwa ketika anak lahir ia telah dibekali oleh berbagai potensi genetis, lingkunganlah yang memberi peran besar dalam pembentukan sikap, kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak. Dahulu, pola seperti ini belum terpikirkan, namun kini PAUD harus diterapkan bukan hanya sebelum masuk SD tetapi juga sebelum masuk Taman Kanak-kanak (TK).

Penyelenggaraan PAUD oleh keluarga atau masyarakat akan semakin mendekatkankan orangtua kepada pembinaan si buah hati yang lebih efektif dan efisien, terutama unsur etika anak. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, keberadaan PAUD Non Formal dan In Formal akan semakin memberi nuansa kedekatan orangtua terhadap anak secara psikologis. Kelompok bermain atau taman penitipan anak sebagai salah satu contoh PAUD Non Formal dan Pendidikan Keluarga atau Lingkungan sebagai contoh PAUD In Formal, tentu merupakan sarana untuk membentuk etika pada anak sejak dini. Keteladanan yang diperlihatkan oleh orangtua sendiri atau pendidik PAUD yang juga merupakan orangtua (ibu) yang dipercaya mampu dan kapabel dalam mendidik anak-anak usia 0-6 tahun.

Tentu proses pembelajaran di PAUD Formal seperti Taman Kanak-kanak juga berbeda dengan PAUD Non Formal dan In Formal. TK lebih mengesankan "aturan-aturan" formal telah dijalankan seperti layaknya sekolah. Ada papan tulis yang terletak di depan ruangan kelas, ada bangku dan meja "murid" yang berjejer rapi, seragam, serta hal-hal formal layaknya di sekolah. Di Play Group dan Pendidikan Keluarga sebagai contoh PAUD Non Formal dan In Formal lebih memberikan aktifitas yang leluasa kepada anak seperti layaknya di rumah atau di lingkungan sendiri. Hal ini tentu dapat dikatakan sebagai nilai tambah PAUD Non Formal dan In Formal karena kesan anak, mereka tidak sedang bersekolah yang terkesan menjenuhkan tetapi mendapat tempat bermain secara lebih leluasa. Namun demikian tentu saja dalam sistem yang telah terprogram secermat mungkin terutama dalam hal peningkatan potensi anak termasuk bimbingan etikanya.

Jalinan hubungan antara anak satu dengan yang lainnya pada saat bermain atau beraktifitas akan menciptakan suasana-suasana yang berbeda. Pada kesempatan inilah pendidik (orangtua) memberikan masukan-masukan nilai-nilai etika pada anak. Bagaimana jika seorang anak memanggil temannya dengan sebutan yang kurang baik? Bagaimana jika seorang anak berkelahi dengan yang lain? Bagaimana jika anak meminjam mainan temannya? Bagaimana jika anak akan keluar ruangan? Bagaimana jika berbicara dengan guru atau orangtua? Bagaimana makan yang baik atau buang air? Kesemuanya itu merupakan sebagian kecil contoh kejadian atau suasana yang dapat dijadikan sarana membentuk etika anak. Tidak perlu mengumpulkan anak dan berceramah di depan mereka tentang prilaku yang baik dan tidak baik.

Hal sedemikian dipercaya kurang efektif bagi anak usia 0-6 tahun yang lebih sarat aktifitas bermainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembinaan di PAUD Non Formal dan In Formal seperti layaknya di rumah sendiri yang sarat akan aktifitas-aktifitas keseharian seorang anak. Sebagai "pembeda" adalah pembimbing atau guru atau orangtua telah profesional dalam membimbing anak terutama etika. Pembentukan etika anak tentu menjadi prioritas sedini mungkin pada suasana atau kondisi yang sederhana terlebih dahulu, baru pada situasi yang kompleks. Jika seorang anak mampu untuk memperlihatkan prilaku yang beretika dalam melakukan aktifitas kesehariannya, maka dapat diyakini mereka akan mampu untuk berprilaku baik jika bersekolah di TK atau masuk SD.

Jiwa-jiwa yang lahir dan dibina dengan etika yang baik akan berdampak luas terhadap perkembangan potensi diri mereka. Anak-anak kita yang telah di bina etikanya di PAUD Non Formal dan In Formal akan mudah untuk mengembangkan diri selanjutnya. Prilaku atau etika yang normatif pada diri anak-anak kita akan menjadikan mereka mudah untuk memilih dan memilah suatu aktifitas positif atau negatif. "Penanaman bibit" etika saat dibina di PAUD Non Formal dan In Formal (utamanya usia 4 tahun) akan tumbuh berkembang pada usia selanjutnya. Kita sebagai orangtua akan merasa mudah dalam mengarahkan anak-anak kita tadi untuk terus memajukan dirinya. Etika yang baik pada anak-anak kita, akan menjadikan orangtua berfungsi sebagai Tut Wuri Handayani. Bangsa Indonesia akan berkembang pesat jika generasi-generasi penerus bangsa ini memiliki etika yang baik, karena dengan etika yang baik serta terpuji akan memudahkan si buah hati kita untuk terus belajar dan memajukan bangsa ini dan bersaing dengan bangsa-bangsa di dunia dan mencapai kejayaan bangsa. SEKIAN





Artikel 4
MENCIPTAKAN PENDIDIKAN EFEKTIF

Kata efektif adalah sebuah kata yang mudah untuk diucapkan namun butuh usaha maksimum dan kontinyu untuk memperolehnya. Kata ini dapat bergabung dengan kata pendidikan menjadi "pendidikan yang efektif" dan selanjutnya kita dapat bertanya sudah efektifkah pendidikan kita atau hanya sekedar asal-asalan saja?

Dari tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal, informal dan non formal, maka pendidikan formal paling banyak disorot mulai dari mutu sampai dengan keefektifannya. Pendidikan formal yang mencakupi kurikulum, sarana, dan prasarananya dan lingkungan masyarakat yang ikut mempengaruhinya.

Apakah suatu pendidikan yang diselenggarakan sejak dari bangku SD sampai perguruan tinggi atau paling kurang sampai untuk tingkat SLTA sudah efektif atau belum. Keefektifan sebuah sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang rumah tangga tempat asal anak-anak didik dan keadaan masyarakat sekeliling sekolah. Rumah tangga dan masyarakat yang memiliki SDM yang sangat memadai dan kondisi keuangan yang cukup mapan akan membantu terselenggaranya suatu sekolah yang efektif.

Sekolah yang efektif tentu akan menjadi sekolah idola dan akan diserbu oleh banyak calon anak didik setiap awal tahun pelajaran dimulai. Anak yang efektif sangat ditentukan oleh faktor rumah dan faktor sekolah yaitu rumah yang efektif dan sekolah yang efektif pula.

Kualitas seorang anak didik sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh budaya dan suasana belajar di rumah dan di sekolah. Beberapa faktor pendukung kualitas anak di rumah adalah seperti tingkat sosial ekonomi dan Sumber Daya Manusia (SDM) orang tua serta pengaruh teman bermain dan hiburan. Sedangkan faktor pendukung di lingkungan sekolah adalah seperti tingkat SDM dan kehangatan pribadi guru, fasilitas penunjang, sarana belajar dan pengaruh budaya dan iklim belajar di sekolah itu sendiri.

Lebih dari separoh waktu kehidupan anak dihabiskan di rumah. Famili dan orang tua mempunyai peranan sangat besar dalam menentukan pribadi anak. Kualitas mereka sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan (SDM) orang tua dalam mendidik dan menumbuhkembangkan konsep belajar dalam keluarga. Kemampuan ekonomi orang tua punya peran dalam menyediakan fasilitas belajar. Ada anak dengan tingkat pendidikan orang tua rendah, biasa berhasil dalam belajar karena orang tua cukup tebal isi kantongnya untuk membiayai saran belajar. Ada lagi sebagian anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi kurang mampu, tetapi juga berhasil dalam belajar, karena orang tuanya sendiri kaya dengan wawasan SDM. Yang sangat beruntung adalah anak yang memiliki orang tua dengan SDM tinggi, kantong tebal dan teman-teman bermain memberikan pengaruh positif dalam belajar.

Pendidikan yang efektif tentu akan didukung oleh komponen-komponen yang juga efektif. Mereka adalah seperti sekolah efektif, kepala sekolah efektif, guru efektif dan murid yang efektif.

Sekolah yang efektif tentu mempunyai standar indikator seperti yang digambarkan oleh Sergio Vanio. Ia mengatakan bahwa kalau sekolah efektif murid-muridnya dinilai setiap tahun oleh pihak yang independen maka skor penilaiannya selalu meningkat. Murid-murid di sekolah itu sangat antusias dalam belajar dan ini tercermin dalam peningkatan prosentase kehadirannya. Guru sangat konsekwen dalam memberikan pekerjaan rumah (PR) dan menilai PR itu dengan konsisten. Sekolah memiliki program dan jadwal ekstrakurikuler di sekolah itu terdapat partisipasi orang tua dan masyarakat untuk peduli terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah tersebut.

Sekolah efektif sangat menghargai waktu dan akan memanfaatkannya ibarat memanfaatkan uang. Tentu saja sebagian besar waktu itu digunakan untuk belajar. Guru-guru di sekolah yang efektif mampu melaksanakan proses belajar mengajar yang bebas dari gangguan dan memberikan pekerjaan rumah dengan cara bertanggung jawab. Sekolah ini mulai dan mengakhiri kegiatan belajar betul-betul tepat waktu. Sementara itu dalam sekolah yang tidak efektif, guru-guru cenderung tidak mendukung pemahaman tujuan sekolah.

Sekolah yang efektif tentu berada di belakang pimpinan kepala sekolah yang efektif pula. Seorang kepala sekolah akan menentukan jatuh atau bangunnya kualitas suatu sekolah. Kepala sekolah asal-asalan cenderung untuk menghancurkan budaya dan iklim belajar sekolah. Sedangkan kepala sekolah yang efektif selalu komit dengan misi dan visi yang mengangkat dan melestarikan kualitas sekolahnya.

Salfen Hasri (2004;20) mendeskripsikan tentang kepala sekolah yang efektif, yang antara lain sebagai berikut: punya visi dan merealisasikannya bersama guru dan staf. Ia mempunyai harapan yang tinggi pada prestasi, selalu mengamati kualitas guru dan kualitas anak didik serta mendorong pemanfaatan waktu. Disamping itu seorang kepala sekolah yang efektif selalu memonitor prestasi individu guru, staff, siswa dan sekolah.

Kepala sekolah yang efektif sangat sadar bahwa keberadaan siswa adalah titik pokok dalam dunia pendidikan (di sekolah), maka ia sangat memonitor perkembangan siswa yang tercermin dalam peningkatan kualitas nilai tes yang bersih dari rekayasa dan manipulasi data. Ia melowongkan waktu (punya jadwal) untuk mengamati guru dalam kelas dan senantiasa berdialog tentang problem dan perbaikan pengajaran/kelas.

Kepala sekolah menjadi efektif karena ia mampu menjadi pemimpin yang efektif. Me Clure (dalam Salfen Hasri, 2004) mengatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu dalam berbagi tugas bersama siapa yang memiliki kompetensi untuk pekerjaan khusus.

Seorang pemimpin yang efektif harus mampu untuk melaksanakan "problem solving" dan "decision making", memiliki bakat memimpin serta mampu untuk bersosial yaitu untuk bekerja sama. Namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah sedikit sekali yang menghabiskan waktu untuk urusan kurikulum dan pengajaran.

Marjohan, Guru SMA Negeri 3 (Program Layanan Keunggulan) Batusangkar. Sumatra Barat.
Saya marjohan Mohon Pilih jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .




Artikel 5

Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan Multikultural

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:

Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.

Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.

Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.

Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".

Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".

Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.

Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:

- Content integration

mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.

-The Knowledge Construction Process

Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)

-An Equity Paedagogy

Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.

-Prejudice Reduction

Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka

- Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.

Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;

1. Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.

2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.

3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.

4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.

Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar