Kamis, 14 Mei 2009

pendidikan informal

Artikel 1:
Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131. (rhu)


Artikel 2:
Pendidikan Informal Perlu Diperhatikan
Singkawang,- Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.
Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.
"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan.
< style="color: black;">pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.
Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.
"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan.


Artikel 3:
Pendidikan Informal Banyak Gagal
Pontianak,- Anggota DPRD Kalbar Katherina Lies meminta penyelenggaraan pendidikan informal perlu evaluasi dan audit lembaga independen. Menurut dia, program yang dilaksanakan dinilainya banyak gagal daripada berhasil. Seperti program penuntasan buta aksara atau program Kejar Paket A, kepala daerah jangan hanya menerima hasil di atas kertas saja. Tetapi coba turun ke lapangan melihat secara langsung kondisinya,” tegas dia, kemarin, di ruang kerjanya.
Anggota Komisi D DPRD Kalbar ini mengatakan menemukan lokasi program Kejar Paket A di dapilnya, dimana pertemuan antara penyelenggara atau instruktur dengan peserta didik hanya satu kali setahun. Sebut dia, sedangkan hasil yang dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota selalu baik-baik saja.
“Penyelenggaraan program pendidikan informal ini dilakukan oleh instansi terkait dengan mitranya. Dana yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memberantas buta aksara maupun program pendidikan informal seperti sistim paket,” ungkap Katherina.
Legislator dari PDS ini menyebutkan mengaudit berhasil atau tidak cukup gampang. Jelas dia, dimana dilaksanakan program disitulah tim mengaudit apakah peserta bisa membaca atau tidak, mengenal huruf atau tidak.
“Semuanya akan dapat dilihat apakah instansi terkait melaksanakan tugas bersama mitranya secara serius atau tidak. Makanya, saya berpendapat perlu ada sebuah evaluasi dan audit untuk itu,” tegas legislator perempuan ini.
Secara terpisah, aktivis PMII, Nurfitriansyah mengatakan beberapa rekan yang sempat KKN di kawasan pedalaman beberapa waktu lalu memang sempat menemukan masyarakat buta aksara. Sebut dia, mahasiswa yang KKN sempat memberikan pelajaran kepada warga di sekitar mereka praktek lapangan. “Kita sangat mendukung jika ada audit penyelenggaraan pendidikan informal yang hanya berhasil menurunkan buta aksara beberapa persen selama lima tahun. Uang negara yang dikeluarkan cukup besar untuk itu,” tegasnya.
Dia mengharapkan ada lembaga independen dapat mendorong pengauditan tersebut. Sehingga, kata dia, ada transparansi penyelenggaraan pendidikan. “Mudah-mudahan, pemerintah daerah mau melakukan hal itu,” harap dia.
< style="color: black;">pendidikan informal perlu evaluasi dan audit lembaga independen. Menurut dia, program yang dilaksanakan dinilainya banyak gagal daripada berhasil. Seperti program penuntasan buta aksara atau program Kejar Paket A, kepala daerah jangan hanya menerima hasil di atas kertas saja. Tetapi coba turun ke lapangan melihat secara langsung kondisinya,” tegas dia, kemarin, di ruang kerjanya.
Anggota Komisi D DPRD Kalbar ini mengatakan menemukan lokasi program Kejar Paket A di dapilnya, dimana pertemuan antara penyelenggara atau instruktur dengan peserta didik hanya satu kali setahun. Sebut dia, sedangkan hasil yang dilaporkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota selalu baik-baik saja.
“Penyelenggaraan program pendidikan informal ini dilakukan oleh instansi terkait dengan mitranya. Dana yang dikeluarkan tidak sedikit untuk memberantas buta aksara maupun program pendidikan informal seperti sistim paket,” ungkap Katherina.
Legislator dari PDS ini menyebutkan mengaudit berhasil atau tidak cukup gampang. Jelas dia, dimana dilaksanakan program disitulah tim mengaudit apakah peserta bisa membaca atau tidak, mengenal huruf atau tidak.
“Semuanya akan dapat dilihat apakah instansi terkait melaksanakan tugas bersama mitranya secara serius atau tidak. Makanya, saya berpendapat perlu ada sebuah evaluasi dan audit untuk itu,” tegas legislator perempuan ini.
Secara terpisah, aktivis PMII, Nurfitriansyah mengatakan beberapa rekan yang sempat KKN di kawasan pedalaman beberapa waktu lalu memang sempat menemukan masyarakat buta aksara. Sebut dia, mahasiswa yang KKN sempat memberikan pelajaran kepada warga di sekitar mereka praktek lapangan.
“Kita sangat mendukung jika ada audit penyelenggaraan pendidikan informal yang hanya berhasil menurunkan buta aksara beberapa persen selama lima tahun. Uang negara yang dikeluarkan cukup besar untuk itu,” tegasnya.
Dia mengharapkan ada lembaga independen dapat mendorong pengauditan tersebut. Sehingga, kata dia, ada transparansi penyelenggaraan pendidikan. “Mudah-mudahan, pemerintah daerah mau melakukan hal itu,” harap dia.


Artikel 4:
PENDIDIKAN INFORMAL TAK TERSENTUH, ANGGARAN 20 PERSEN TIMPANG
(Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal. "Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8). Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya. Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.
Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya. (Mimie/IOT-03)


Artikel 5:
Pendidikan Informal Untuk Semua
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat anak-anak atau adik kita pulang sekolah, setelah jam sekolah usai, mereka kembali ke keluarga mereka di rumah, tetapi apakah anda pernah menyadari bahwa pendidikan terus berjalan, meskipun mereka telah pulang ke rumah?
Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan informal, dimana pendidikan tersebut berlangsung sejak anak tersebut dilahirkan dan mulai mengenal lingkungan sampai mereka beranjak dewasa. Pendidikan informal lebih menitikberatkan pada perkembangan afeksi, moral dan emosional. Secara biologis perkembangan afeksi dikendalikan oleh otak kanan yang banyak berperan pada kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika dan kinestika, sehingga jika pendidikan informal benar-benar dilaksanakan dengan baik akan membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan dalam 3 ranah, yaitu afeksi, kognisi dan psikomotor. Dalam perkembangannya, banyak keluarga moderen yang lebih mementingkan perkembangan anak dari sisi kognisi, yang ditandai dengan diikutkannya anak mengikuti pelajaran tambahan (les) mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi atau kursus-kursus ketrampilan lain.
Sejatinya, perkembangan ketiga ranah tersebut harus seimbang, sehingga tercapai keselarasan dalam hidup manusia, dan tidak ada lagi hacker, koruptor, atau teroris, karena mereka pada dasarnya adalah orang yang diberi kelebihan kognisi tetapi kurang (tidak punya) afeksi, sehingga cenderung merugikan dan membahayakan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar