Kamis, 14 Mei 2009

pendidikan layanan khusus

Artikel 1:
Pendidikan Layanan Khusus Untuk Daerah-Daerah Bencana
Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.
Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.
Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.
Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).
Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.
Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana.


Artikel 2:
LP3M Laksanakan Pendidikan Layanan Khusus
LP3M unismuh kerjasama dengan Diknas menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi anak nelayan di Desa Aeng Batu-Batu Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 50 orang anak putus sekolah yang dibagi dalam 2 kelas yaitu kelas setingkat SMA dan kelas untuk tingkatan SMP.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pengetahuan anak-anak nelayan yang putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP dan SMA. Namanya saja pelayanan khusus, jadwalnya juga dibuat khusus yaitu hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini dilaksankaan selama 6 kali pertemuan yang materinya meliputi bidang studi matematika, agama, ekonomi, biologi, dan bidang studi lainnya berdasarkan kebutuhan daerah setempat.
Pendidikan Layanan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Artikel 3:
Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus
Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.
Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.
Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.
Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.
Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.
Ribuan Anak Pengungsi
Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.
Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.
Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.
Bantuan Alat
Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.
Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.
"Kami mohon bantuan untuk penyediaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.
Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.
Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.
Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.
Layanan Tutor
Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.
"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.
Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.
"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.


3. KABUPATEN MALANG GELAR PENDIDIKAN KHUSUS BAGI PENDERITA AUTIS
September 6, 2007, 12:05 pm| Berita Departemen
Malang, 6/9/2007 (Kominfo-Newsroom) - Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.
Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.
Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.
Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.
“Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati.” kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.
Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi. (www.jatim.go.id/hsn/toeb)


4. Hak Pendidikan 4.600 Anak di LP Terlupakan
Posted on: 11 May 2007 by ypha
[JAKARTA] Lebih 4.600 anak yang terpenjara di 16 lembaga pemasyarakatan anak (LP Anak) di Indonesia membutuhkan pendidikan layanan khusus. Selama ini mereka seakan terlupakan dan tercabut haknya untuk memperoleh layanan pendidikan secara memadai. Padahal mereka merupakan peserta program wajib belajar nasional yang oleh pemerintah pada tahun 2009 sudah harus dituntaskan.
"Selama ini pendidikan di dalam lembaga pemasyarakatan memang masih dilakukan dengan banyak keterbatasan. Kami menyambut baik gagasan Direktorat Pendidikan Luar Biasa yang memiliki kepedulian untuk menyelamatkan anak yang tersia-sia dan tidak terlayani. Berdasarkan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003, mereka akan diberikan layanan pendidikan layanan khusus," ujar Direktur Pemberdayaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Departemen Kehakiman, Mashudi kepada SP di sela Workshop Forum Komunikasi Pendidikan Layanan Khusus, Selasa.
Menurut Mashudi, sekarang ini program pendidikan anak di LP Anak dilakukan dengan program belajar yang diselenggarakan oleh karyawan LP Anak. Sedangkan peralatan serta perangkat belajar disusun dan dibuat berdasarkan sumber-sumber belajar yang ada di jalur pendidikan formal.
"Sebagian karyawan kami yang memiliki kemampuan untuk mengajar dan pernah mendapatkan pendidikan formal di IKIP, Fakultas Psikologi serta sejumlah disiplin ilmu lainnya kami ajak untuk membuat program pendidikan bagi anak-anak. Biasanya kami memulai dengan me
nanyakan anak sampai kelas berapa mereka pernah sekolah, baru kemudian kami masukan ke kelas-kelas," ujar Mashudi.
Saat ini sebagian besar anak yaitu hampir 40 persen anak yang berada di LP Anak hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar hingga kelas empat dan lima . Sekitar 35 persen hanya lulus SD dan 15 persen pernah sekolah di bangku SMP dan sisanya sekitar 10 persen lulus SMP," ujar Mashudi.
Dikatakan, dirinya sangat menyambut baik kerja sama yang dilakukan Depdiknas dalam hal ini Direktorat PLS dengan pihaknya, karena anak-anak di LP sangat membutuhkan dan merindukan sejumlah program kegiatan belajar yang inovatif.
Amanat Ditandaskan, keterlibatan sejumlah lembaga dan organisasi profesi keterampilan yang terlibat dalam pendidikan layanan khusus dan pendidikan khusus di Direktorat PLB diharapkan mampu memberikan bekal keterampilan hidup bagi anak-anak ini begitu mereka bebas dari masa hukuman.
Direktur PLB, Ekodjatmiko Soekarso mengatakan apa yang dilakukan pihaknya dalam menyelamatkan hak anak di LP Anak untuk mendapat layanan pendidikan secara memadai merupakan amanat Pasal 32 UU No 20/2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi.


5. ABK Dilindungi Tiga UU
By Republika Newsroom
Jumat, 13 Maret 2009 pukul 15:16:00
Font Size A A A
EMAIL
PRINT
Facebook
MALANG – Anak berkelakuan khusus (ABK) selama ini tidak hanya dilindungi UUD 1945. Namun, menurut Direktur Direktorat Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK) Depdiknas, Eko Koesoemadjati, juga dilindungi tiga undang-undang dan konvensi-konvensi yang bersifat internasional.''Ada tiga UU selain UUD 1945 yang melindungi anak-anak yang ''khusus'' itu. Di antara UU itu adalah UU Sisdiknas, UU Perlindungan Anak dan UU Hak Anak Cacat,'' jelas Direktur PKPLK depdiknas itu saat meresmikan Acesment Center dan mebuka Pagelaran Karya dan Prestasi Anak Bangsa di UMM Dome, Jumat (13/3).
Dia menjelaskan bahwa yang melindungan anak-anak ''Khusus'' karena tuna netera atau memiliki kekurangan secara mental itu tidak hanya UU. Namun, banyak konvensi internasional yang juga melindunginya.Makanya, dia menyarankan bila ada orang yang tidak peduli terhadap anak-anak ''Khusus'' itu agar dilaporkan kepada polisi. ''Sebab, ada undang-undangnya,'' terang dia sembari menyarankan agar bila ada lembaga yang ingin mengembangkan dan mengelola anak-anak ''khusus'' ini tidak perlu ragu-ragu.
Alasannya, selain anak-anak tersebut dilindungi tiga UU dan UUD 1945 serta konvensi internasional, masalah kepedulian dair pemerintah dikatakan tidak perlu diragukan. Menurut dia, lembaga pendidikan untuk anak khusus itu disediakan anggaran tersendiri.Bahkan, diyakini dia bila bagi pengelola lembaga pendidikan anak khusus ini bakal ada saja dana yang mengalir. Karena itu, dia berharap agar masyarakat, khsusnya para guru dan pengelola secara tulus memberikanpendidikan dan layanan khusus agi anak-anak yang membutuhkan perlakuan khusus tersebut.
Hal senada juga diungkapkan Rektor UMM, DR Drs Muhadjir Effendy MAP. Dia mengatakan bahwa anak-anak ''khusus'' itu memang secara kondisi fisik dan atau mental kurang beruntung dibandingkan dengan anak-anak normal biasanya.''Bagi yang secara tulis berbakti mendidik anak-anak khusus ini, insyaa Allah akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Sebab, itu menjadi amal saleh bagi para guru dan pengelola yang dengan tulus mendidik anak-anak kurang beruntung itu,'' jelas dia ketika memberikan sambutan dalam acara Gelar karya dan prestasi Anak Bangsa dari anak-anak ''khusus'' itu.
Dalam acara tersebut diiikuti sekitar 60 lembaga PKPLK se jawa Timur dari 400 lembaga yang ada. Menurut Wakil Ketua Panitia Pelaksana, M Shohib, dalam kegiatan ini ada banyak kegiatan yang dilaksanakan. Dia sebutkan, seperti semeinar nasional, gelar Karya dan Prestasi Anak bangsa serta Pameran hasil karya dfari anak-anak berkelakuan khusus tersebut.
Dia mengatakan bahwa untuk mendidikan anak-anak khsusu itu memang diperlukan pendidikan dan pelayanan khusus. Alasannya, mereka merupakan anak-anak yang khusus. Makanya, kata dia, banyak kendala yang dihadapi lembaga PLPLK ini.Persoalan yang menjadi kendala itu, kata dia, sumber daya manusia dan juga maslah infrastruktur. ''SDM yang ada sangat terbatas. Begitu juga fasilitas yang dibutuhkan. Padahal, mereka membutuhkan pelayanan khusus. Termasuk juga maslah kurikulum pendidikan bagi mereka,'' jelas dosen Psikologi UMM ini.
Karena itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Bimbingan Konseling (BK) UMM, M Salis Yuniardi Mpsi tidak membantah bila masalh kurikulum pendidikan yang ada selama ini menyulitkan bagi anak-anak khusus ini. Sebab, anak-anak khusus itu membutuhkan perlakuan khusus sesuai dengan keterbatasanmereka. Selain itu, kurikulum tersebut juga harus menghargai potensi dan mampu membangun optimisme mereka. Sehingga, mereka bisa berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki di balik kekurangannya. aji/kpo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar