Senin, 25 Mei 2009

pendidikan layanan khusus

Artikel 1
Upaya Pemberian Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Selalu berkatalah ya pada anak. Jarang didapati guru yang demikian ini. Rata-rata mereka melarang siswa-siswanya melakukan sesuatu. Contoh jangan manjat pagar nanti jatuh, jangan main api nanti terbakar dan sebagainya. Padahal siswa saat melakukan hal tersebut pada kondisi senang dengan hal baru, menemui keasyikan dan mencoba untuk belajar dari hal tersebut. Pada tarap belajar inilah nantinya akan timbul suatu kreativitas pada diri siswa tersebut. Mereka akan berhenti jika ternyata api itu panas, ataupun tidak akan melakukan lagi ketika mereka jatuh dari suatu pagar tersebut. Larangan-larangan semacam ini tentunya dapat mematikan kreativitas siswa. Siswa akan selalu dalam lingkaran ketidaktahuan, ketakutan, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Namun kadang guru sendiri tidak menyadari akan hal ini. Seharusnya untuk hal-hal baru seperti diatas siswa diberi kesempatan untuk mencoba melakukan sementara guru tetap memberi pengawasan sehingga siswa dapat bereksperimen dengan aman. Guru tidaklah selalu bersikap sebagai petugas hukum di lingkungan sekolah. Di mana biasanya guru yang membuat peraturan. Kemudian mereka pula yang memberi sanksi atau hukuman pada siswanya, jika siswa melakukan suatu kesalahan, misalnya dengan disuruh lari mengitari halaman, berdiri di depan kelas, memukul dengan sabuk atau tindakan lain yang lebih mengarah pada hukuman fisik. Sebenarnya guru dapat bersikap lebih demokratis pada siswa, mencoba membicarakan dengan siswa hal-hal apa saja yang baik dapat mereka lakukan, mana yang baik dan mana yang tidak. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan mengklarifikasi antara hal yang baik dan yang tidak untuk kemudian disusun sebagai suatu peraturan secara bersama dan demokratis. Dalam menentukan hukuman hendaknya juga dengan sikap yang demokratis. Cobalah siswa untuk menentukan hukuman sendiri sebagai sikap pertanggungjawaban terhadap kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi. Guru harus mampu menyediakan media untuk siswanya sebagai upaya untuk menelurkan siswa yang cerdas dan kreatif. Pernyataan tersebut selaras dengan teori teori pendekatan ekologis dan genetis yang diungkapkan oleh Spiel (1994), Oerter (1992), Scarr&Mc. Cartney (1982). Menurut pandangan mereka, perkembangan siswa selalu berupa interaksi antara bakat (genotip) dan lingkungan. Setidaknya ada tiga hasil interkasi genotip dan lingkungan (Kartono, tahun 1995:119). Pertama, adanya hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat pasif. Hal ini timbul karena guru memberi lingkungan yang sesuai dengan bakat mereka sendiri. Misalnya guru yang gemar musik akan selalu memberikan lingkungan musik pada siswanya sehingga siswa sejak awal hidup dalam lingkunga musik tersebut. Kedua, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat evokatif . Hal ini timbul karena siswa dengan bakat berbeda-beda menimbulkan berbagai macam reaksi terhadap lingkungan sosialnya. Contohnya siswa masa usia sekolah sering melakukan hal-hal yang seenaknya saja sehingga menimbulkan perhatian pada orang lain yang mempengaruhi perilakunya sendiri lagi. Ketiga, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat aktif. Hal ini timbul karena seseorang memilih lingkungan yang cocok dengan pribadinya sendiri. Kebanyakan terjadi pada usia remaja dan sering dilakukan bersama-sama dengan pencarian identitas ego atau citra diri atau jati diri. Terkait dengan hal di atas, ada beberapa landasaran yuridis formal yang mendasari upaya untuk memberikan hak-hak pada anak berkebutuhan khusus, diantaranya yaitu : 1. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang hak mendapat pendidikan. 2. UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 3, 5 dan 32 tentang pelayanan pendidikan khusus. 3. UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 48, 49, 50, 51, 52, 53 4. UU No. 4 tahun 1997 pasal 5 tentang penyandang cacat. 5. Deklarasi Bandung (Nasional) "Indonesia menuju pendidikan inklusif" 8-14 Agustus 2004. Sejalan dengan hal tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 menetapkan konfensi hak anak termasuk di dalamnya hak anak yang berkebutuhan khusus, di antaranya: 1. Dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dinyatakan bahwa masa kanak-kanak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus. 2. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-hak anak, "anak karena tidak memiliki kematangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran." 3. Di semua negara bagian di dunia, ada anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sulit, dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus. Menurut Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan pemerintah (Suyanto, 2005:225) oleh karena itu upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak yang berkebutuhan khusus hendaknya melibatkan : (1) kerja sama dengan orang tua, (2) kerja sama antara guru, (3) kerja sama organisasi profesional, (4) kerja sama dengan masyarakat. Dari berbagai upaya di atas diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan hak-haknya. Sehingga anak tidak akan kehilangan hak-haknya untuk mengembangkan potensi secara optimal. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensinya seperti anak-anak lain untuk membekali hidupnya serta dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungan, dan masyarakat.



Artikel 2
Pendidikan Layanan Khusus Kesulitan Guru

Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.
Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).
Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.
”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.
Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.
Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.
Tumbuh dari masyarakat
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.
Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.
Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.
Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.
Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.
”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.
Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.
Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)



Artikel 3
Peran Guru Kelas Dalam Pelaksanaan Bimbingan Konseling Di Sekolah Dasar


Bimbingan adalah suatu proses yang terus-menerus untuk membantu perkembangan individu dalam rangka mengembangkan kemampuannya secara maksimal untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat (Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1990:11). Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik sebuah inti sari bahwa bimbingan dalam penelitian ini merupakan suatu bentuk bantuan yang diberikan kepada individu agar dapat mengembangkan kemampuannya seoptimal mungkin, dan membantu siswa agar memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya (self direction), dan merealisasikan dirinya (self realization). Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno, 1997:106). Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada seseorang supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39). Dari pengertin tersebut, dapat penulis sampaikan ciri-ciri pokok konseling, yaitu: (1) adanya bantuan dari seorang ahli, (2) proses pemberian bantuan dilakukan dengan wawancara konseling, (3) bantuan diberikan kepada individu yang mengalami masalah agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri dalam mengatasi masalah guna memperbaiki tingkah lakunya di masa yang akan datang.2. Perlunya Bimbingan dan Konseling di SD Jika ditinjau secara mendalam, setidaknya ada tiga hal utama yang melatarbelangi perlunya bimbingan yakni tinjauan secara umum, sosio kultural dan aspek psikologis. Secara umum, latar belakang perlunya bimbingan berhubungan erat dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu: meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Untuk mewujudkan tujuan tersebut sudah barang tentu perlu mengintegrasikan seluruh komponen yang ada dalam pendidikan, salah satunya komponen bimbingan. Bila dicermati dari sudut sosio kultural, yang melatar belakangi perlunya proses bimbingan adalah adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sehingga berdampak disetiap dimensi kehidupan. Hal tersebut semakin diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, sementara laju lapangan pekerjaan relatif menetap. Menurut Tim MKDK IKIP Semarang (1990:5-9) ada lima hal yang melatarbelakangi perlunya layanan bimbingan di sekolah yakni: (1) masalah perkembangan individu, (2) masalah perbedaan individual, (3) masalah kebutuhan individu, (4) masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku, dan (5) masalah belajar3. Fungsi Bimbingan dan Konseling di SD Sugiyo dkk (1987:14) menyatakan bahwa ada tiga fungsi bimbingan dan konseling, yaitu: a. Fungsi penyaluran ( distributif ) Fungsi penyaluran ialah fungsi bimbingan dalam membantu menyalurkan siswa-siswa dalam memilih program-program pendidikan yang ada di sekolah, memilih jurusan sekolah, memilih jenis sekolah sambungan ataupun lapangan kerja yang sesuai dengan bakat, minat, cita-cita dan ciri- ciri kepribadiannya. Di samping itu fungsi ini meliputi pula bantuan untuk memiliki kegiatan-kegiatan di sekolah antara lain membantu menempatkan anak dalam kelompok belajar, dan lain-lain. b. Fungsi penyesuaian ( adjustif ) Fungsi penyesuaian ialah fungsi bimbingan dalam membantu siswa untuk memperoleh penyesuaian pribadi yang sehat. Dalam berbagai teknik bimbingan khususnya dalam teknik konseling, siswa dibantu menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitannya. Fungsi ini juga membantu siswa dalam usaha mengembangkan dirinya secara optimal. c. Fungsi adaptasi ( adaptif ) Fungsi adaptasi ialah fungsi bimbingan dalam rangka membantu staf sekolah khususnya guru dalam mengadaptasikan program pengajaran dengan ciri khusus dan kebutuhan pribadi siswa-siswa. Dalam fungsi ini pembimbing menyampaikan data tentang ciri-ciri, kebutuhan minat dan kemampuan serta kesulitan-kesulitan siswa kepada guru. Dengan data ini guru berusaha untuk merencanakan pengalaman belajar bagi para siswanya. Sehingga para siswa memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan bakat, cita-cita, kebutuhan dan minat (Sugiyo, 1987:14) 4. Prinsip-prinsip Bimbingan Konseling di SD Prinsip merupakan paduan hasil kegiatan teoretik dan telaah lapangan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan (Prayitno, 1997:219). Berikut ini prinsip-prinsip bimbingan konseling yang diramu dari sejumlah sumber, sebagai berikut: a. Sikap dan tingkah laku seseorang sebagai pencerminan dari segala kejiwaannya adakah unik dan khas. Keunikan ini memberikan ciri atau merupakan aspek kepribadian seseorang. Prinsip bimbingan adalah memperhatikan keunikan, sikap dan tingkah laku seseorang, dalam memberikan layanan perlu menggunakan cara-cara yang sesuai atau tepat. b. Tiap individu mempunyai perbedaan serta mempunyai berbagai kebutuhan. Oleh karenanya dalam memberikan bimbingan agar dapat efektif perlu memilih teknik-teknik yang sesuai dengan perbedaan dan berbagai kebutuhan individu. c. Bimbingan pada prinsipnya diarahkan pada suatu bantuan yang pada akhirnya orang yang dibantu mampu menghadapi dan mengatasi kesulitannya sendiri. d. Dalam suatu proses bimbingan orang yang dibimbing harus aktif , mempunyai bayak inisiatif. Sehingga proses bimbingan pada prinsipnya berpusat pada orang yang dibimbing. e. Prinsip referal atau pelimpahan dalam bimbingan perlu dilakukan. Ini terjadi apabila ternyata masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan oleh sekolah (petugas bimbingan). Untuk menangani masalah tersebut perlu diserahkan kepada petugas atau lembaga lain yang lebih ahli. f. Pada tahap awal dalam bimbingan pada prinsipnya dimulai dengan kegiatan identifikasi kebutuhan dan kesulitan-kesulitan yang dialami individu yang dibimbing. g. Proses bimbingan pada prinsipnya dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan yang dibimbing serta kondisi lingkungan masyarakatnya. h. Program bimbingan dan konseling di sekolah harus sejalan dengan program pendidikan pada sekolah yang bersangkutan. Hal ini merupakan keharusan karena usaha bimbingan mempunyai peran untuk memperlancar jalannya proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. i. Dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah hendaklah dipimpin oleh seorang petugas yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidang bimbingan. Di samping itu ia mempunyai kesanggupan bekerja sama dengan petugas-petugas lain yang terlibat. j. Program bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya senantiasa diadakan penilaian secara teratur. Maksud penilaian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program bimbingan. Prinsip ini sebagai tahap evaluasi dalam layanan bimbingan konseling nampaknya masih sering dilupakan. Padahal sebenarnya tahap evaluasi sangat penting artinya, di samping untuk menilai tingkat keberhasilan juga untuk menyempurnakan program dan pelaksanaan bimbingan dan konseling (Prayitno, 1997:219). 5. Kegiatan BK dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi Berdasakan Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling (2004) dinyatakan bahwakerangka kerja layanan BK dikembangkan dalam suatu program BK yang dijabarkan dalam 4 (empat) kegiatan utama, yakni: a. Layanan dasar bimbingan Layanan dasar bimbingan adalah bimbingan yang bertujuan untuk membantu seluruh siswa mengembangkan perilaku efektif dan ketrampilan-ketrampilan hidup yang mengacu pada tugas-tugas perkembangan siswa SD. b. Layanan responsif adalah layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta didik saat ini. Layanan ini lebih bersifat preventik atau mungkin kuratif. Strategi yang digunakan adalah konseling individual, konseling kelompok, dan konsultasi. Isi layanan responsif adalah: (1) bidang pendidikan; (2) bidang belajar; (3)bidang sosial; (4) bidang pribadi; (5) bidang karir; (6) bidang tata tertib SD; (7) bidang narkotika dan perjudian; (8) bidang perilaku sosial, dan (9)bidang kehidupan lainnya.c. Layanan perencanaan individual adalah layanan bimbingan yang membantu seluruh peserta didik dan mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan, karir,dan kehidupan sosial dan pribadinya. Tujuan utama dari layanan ini untuk membantu siswa memantau pertumbuhan dan memahami perkembangan sendiri. d. Dukungan sistem, adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara dan meningkatkan progam bimbingan secara menyeluruh. Hal itu dilaksanakan melalui pengembangaan profesionalitas, hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasihat, masyarakat yang lebih luas, manajemen program, penelitian dan pengembangan (Thomas Ellis, 1990) Kegiatan utama layanan dasar bimbingan yang responsif dan mengandung perencanaan individual serta memiliki dukungan sistem dalam implementasinya didukung oleh beberapa jenis layanan BK, yakni:(1) layanan pengumpulan data, (2) layanan informasi, (3) layanan penempatan, (4) layanan konseling, (5) layanan referal/melimpahkan ke pihak lain, dan (6) layanan penilaian dan tindak lanjut (Nurihsan, 2005:21).6. Peran Guru Kelas dalam Kegiatan BK di SD Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh karena itu peranan guru kelas dalam pelaksanaan kegiatan BK sangat penting dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu: a. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum. b. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain. c. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar. d. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. e. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar. f. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan. g. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar. h. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa. i. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.

Artikel 4
Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus

Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.

Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.

Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)

Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.

Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.

Artikel 5
Siswa SLB Kesulitan Transportasi
Minimnya transportasi bagi siswa sekolah luar biasa (SLB) di Muaraenim menjadi kendala serius.
Selain tidak tersedianya angkutan resmi, jauhnya jarak sekolah yang mencapai 10 km dari pusat Kota Muaraenim juga harus mendapatkan perhatian serius dari Pemkab Muaraenim. Salah seorang wali murid,Sutisna, 36, warga Tanjung Enim, mengaku sangat kesulitan saat akan mengantarkan anaknya ke sekolah.
Apalagi, sejak lokasi sekolah dipindahkan dari Kelurahan Tungkal ke Desa Kepur. Sebab, transportasi menuju sekolah ini belum tersedia. “Memang pemkab telah menyediakan satu unit kendaraan L300, tetapi hal itu masih sangat kurang, mengingat banyaknya jumlah murid.Tidak semua wali murid yang memiliki kendaraan sendiri.Pemerintah seharusnya tanggap mengenai hal ini,” ujar Sutisna kemarin.
Terpisah, Asisten III Setda Muaraenim Syahrul Ibrahim menerangkan, pihaknya terus mencarikan solusi terbaik bagi siswa SLB. “Kami terus memperhatikan perkembangannya. Pemkab Muaraenim tidak pernah tinggal diam untuk masalah ini.Transportasi siswa merupakan tanggung jawab Dinas Pendidikan,” katanya.
Menurut Syahrul, pihaknya telah menginstruksikan Dinas Pendidikan (Disdik) Muaraenim segera mencarikan solusi.Akhirnya, dari dua kendaraan operasional Disdik,salah satunya telah digunakan untuk transportasi siswa SLB. Minimnya kendaraan,diakuinya, membuat transportasi menuju SLB cukup sulit.
“Masalahnya, kendaraan L300 itu kerap berangkat satu kali dan sering tidak menunggu siswa-siswa lain. Memang kedatangan siswa tidak bersamaan, tetapi akhirnya lama- kelamaan menjadi lalai,”katanya. Setelah rapat koordinasi kemarin, pihaknya minta Disdik dapat lebih memperhatikan masalah transportasi ini.
Bahkan, pemkab telah mengajukan usulan untuk menyediakan satu buah bus angkutan di dalam Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Muaraenim.“ Akan kami perjuangan usulan tersebut,”ucapnya. Tahun ajaran ini, sebut dia, jumlah siswa SLB mencapai 54 orang, dengan rincian 43 orang yang mengalami cacat mental, 9 orang tunarungu wicara, 1 orang tunanetra, dan 1 orang cacat tubuh.
Sedangkan domisili tempat tinggal siswa, 29 di antaranya tinggal di Tanjung Enim, sisanya tersebar di Kecamatan Muaraenim. “Fasilitas belajar-mengajarnya pun sudah kami sesuaikan dengan sekolah biasa. Mereka tetap kami perhatikan.Bahkan,bantuan operasional sekolah (BOS) juga sudah dianggarkan.Ke depan, permasalahan transportasi secepatnya akan diselesaikan,” ungkapnya.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rin
Artikel 4
Sekolah Anak-anak Bukit di Meratus

Desa Hampang Kecamatan Halong Kabupaten Balangan, salah satu desa terpencil yang mayoritas dihuni warga suku Dayak Meratus ini, cukup sulit dijangkau. Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Tabuan masih berupa jalan tanah yang becek dan rawan jadi kubangan saat hujan. untuk mencapai lokasi, sebuah mbil yang double gardan pun harus dibantu dengan mobil jeep khusus off road agar tidak terjebak lumpur terlalu lama. Lokasi yang terpencil itu dapat dicapai setelah Perjalanan yang sulit terhentak-hentak di dalam mobil selama sekitar satu jam di jalan tanah yang becek dan terjal.

Kepala SD kecil Hampang, Sumardi mengatakan ada 45 murid usia 9-17 tahun bersekolah di SD itu. Kelas satu ada 20 murid dan kelas dua 25 murid. Hanya ada tiga orang guru, termasuk dirinya, yang mengajar secara bergantian. bangunan sekolah memanjang yang terdiri dua lokal untuk kelas satu dan kelas dua.

Murid di SD kecil memang tidak semuanya anak-anak. Rata-rata sudah berusia setara siswa SMP dan SMA. Bahkan untuk paket A atau pendidikan setara SD yang juga dibuka di sekolah ini, memiliki siswa berusia 29 tahun. Saat bersekolah, tidak semua siswa, terutama yang dewasa mau mengenakan seragam sekolah. Demikian halnya dengan alas kaki yang masih banyak mengenakan sandal jepit atau bertelanjang kaki. Sekolahnya mulai hari Isnin (Senin) sampai Jumahat (Jumat). Sabtu dan Minggu libur karena membantu orangtua menoreh di kabun (kebun)

Sumardi mengatakan, mendidik anak-anak bukit di daerah terpencil tidak gampang. Perlu penanganan khusus dan toleransi lebih daripada siswa di kota. Dia juga harus melakukan kompromi dengan orangtua agar membolehkan anaknya sekolah. Pihaknya mengizinkan anak belajar cuma sampai Jumat agar Sabtu dan Minggu bisa membantu orangtua di kebun. Dengan kebijakan itu, prosentase keaktifan ke sekolah meningkat.

Menurut Sumardi kebijakan itu karena kecenderungan siswa yang temperamental, kurang sopan santun dan disiplin. Apalagi orangtua yang rata-rata petani masih acuh dengan pendidikan anak dan malah sering mangajak membantu di kebun sehingga pendidikan terabaikan. Kendala lain, fasilitas sekolah sangat minim. Jangankan buku pelajaran, untuk buku tulis pun terkadang tidak ada.

Artikel 5
Siswa SLB Kesulitan Transportasi
Minimnya transportasi bagi siswa sekolah luar biasa (SLB) di Muaraenim menjadi kendala serius.
Selain tidak tersedianya angkutan resmi, jauhnya jarak sekolah yang mencapai 10 km dari pusat Kota Muaraenim juga harus mendapatkan perhatian serius dari Pemkab Muaraenim. Salah seorang wali murid,Sutisna, 36, warga Tanjung Enim, mengaku sangat kesulitan saat akan mengantarkan anaknya ke sekolah.
Apalagi, sejak lokasi sekolah dipindahkan dari Kelurahan Tungkal ke Desa Kepur. Sebab, transportasi menuju sekolah ini belum tersedia. “Memang pemkab telah menyediakan satu unit kendaraan L300, tetapi hal itu masih sangat kurang, mengingat banyaknya jumlah murid.Tidak semua wali murid yang memiliki kendaraan sendiri.Pemerintah seharusnya tanggap mengenai hal ini,” ujar Sutisna kemarin.
Terpisah, Asisten III Setda Muaraenim Syahrul Ibrahim menerangkan, pihaknya terus mencarikan solusi terbaik bagi siswa SLB. “Kami terus memperhatikan perkembangannya. Pemkab Muaraenim tidak pernah tinggal diam untuk masalah ini.Transportasi siswa merupakan tanggung jawab Dinas Pendidikan,” katanya.
Menurut Syahrul, pihaknya telah menginstruksikan Dinas Pendidikan (Disdik) Muaraenim segera mencarikan solusi.Akhirnya, dari dua kendaraan operasional Disdik,salah satunya telah digunakan untuk transportasi siswa SLB. Minimnya kendaraan,diakuinya, membuat transportasi menuju SLB cukup sulit.
“Masalahnya, kendaraan L300 itu kerap berangkat satu kali dan sering tidak menunggu siswa-siswa lain. Memang kedatangan siswa tidak bersamaan, tetapi akhirnya lama- kelamaan menjadi lalai,”katanya. Setelah rapat koordinasi kemarin, pihaknya minta Disdik dapat lebih memperhatikan masalah transportasi ini.
Bahkan, pemkab telah mengajukan usulan untuk menyediakan satu buah bus angkutan di dalam Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Muaraenim.“ Akan kami perjuangan usulan tersebut,”ucapnya. Tahun ajaran ini, sebut dia, jumlah siswa SLB mencapai 54 orang, dengan rincian 43 orang yang mengalami cacat mental, 9 orang tunarungu wicara, 1 orang tunanetra, dan 1 orang cacat tubuh.
Sedangkan domisili tempat tinggal siswa, 29 di antaranya tinggal di Tanjung Enim, sisanya tersebar di Kecamatan Muaraenim. “Fasilitas belajar-mengajarnya pun sudah kami sesuaikan dengan sekolah biasa. Mereka tetap kami perhatikan.Bahkan,bantuan operasional sekolah (BOS) juga sudah dianggarkan.Ke depan, permasalahan transportasi secepatnya akan diselesaikan,” ungkapnya.
Guru bantu
Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.
"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.
Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.
Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.
"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.
Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.
Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.
Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.
Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.
Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana.
ci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar