Senin, 25 Mei 2009

pendidikan nonformal

1. UNTUK TINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN NON FORMAL
SKB SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG BERIKAN PELATIHAN BAGI PARA TUTOR

Untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik dan kependidikan, pendidikan non formal, di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Sanggar Kegiatan Belajar Muaro Sijunjung melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi PTK PNF.
Peserta Diklat terdiri dari unsur tutor kesetaraan Paket B 20 orang, Paket C 20 orang, PAUD 20 orang, tutor keaksaraan fungsional 20 orang dan penyelenggara program sebanyak 20 orang.
Kepala SKB Muaro Sijunjung, Awaluddin Zainu. S.Sos, mengatakan, pelatihan ini dilaksanakan mulai 5 Nopember sampai 10 Nopember mendatang. Sedangkan instruktur berasal dari Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Barat, Balai Pengembangan Kegiatan Belajar Sumatera Barat, Dinas Pendidikan Kabupaten serta Kepala SKB Muaro Sijunjung.
Lebih lanjut Awaluddin Zainu menjuelaskan, sesuai dengan undang-ungdan No.22 Tahun 2003, pendidikan di Indonesia terbagi 3 kategori, diantaranya pendidikan formal yang diperoleh di bangku sekolah. Pendidikan Non formal yang diperdapat diberbagai lembaga atau organisasi dan pendidikan Informal yang diperdapat dalam lingkungan keluarga.
”Nah sekarang ini yang kita laksanakan adalah pendidikan non formal, dengan pelatihan yang dilaksanakan ini, kita berharap pendidikan non formal ini akan semakin meningkat mutu dan kualitasnya. Untuk itu kita laksanakan pelatihan bagi para tutor, sebagai bekal bagi mereka dalam memberikan didikan bagi anak didik,” katanya.
Kepala SKB mengharapkan kepada seluruh peserta untuk dapat menterapkan ilmu yang di berikan instruktur, serta menerapkannya dalam pembinaan dilapangan nanti, sehingga ilmu yang telah di transfer instruktur benar-benar bermanfaat.








2. PENDIDIKAN NONFORMAL MASIH DIPOSISIKAN SEBAGAI PERAN "PEMBANTU"

Meskipun pendidikan nonformal sudah diakui eksistensinya melalui rumusan dalam undang-undang dan berbagai kebijakan, tetapi justru pada tataran undang-undang dan kebijakan itu, pendidikan nonformal menghadapi permasalahan mendasar. Permasalahan itu berupa masih diposisikan sebagai peran "pembantu" bagi pendidikan formal, masih memerlukan proses evaluasi bagi pengakuan kesetaraan antara pendidikan nonformal dan pendidikan formal, dan dibatasi hanya pada aktivitas pendidikan nonformal di dalam lingkup Departemen Pendidikan Nasional. Salah satu contoh aktual, semenjak tingkat kelulusan ujian nasional cenderung menurun, adalah kebijakan diperbolehkannya para siswa SMP dan SMA/SMK yang tidak lulus ujian nasional dapat mengikuti ujian kesetaraan Paket B dan Paket C.Demikian dipaparkan Prof. Dr. Yoyon Suryono, MS, dalam pidato pengukuhan Guru Besar, Sabtu (5/7) di Ruang Sidang Rektorat UNY. Prof. Yoyon dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Evaluasi Pendidikan Nonformal pada FIP UNY. Pidato berjudul Politik Pendidikan Nonformal Dalam Membangun Masyarakat Belajar yang Demokratis diucapkan di depan Rapat Terbuka Senat UNY.Lebih lanjut dikatakan, Pendidikan nonformal memiliki banyak sasaran warga belajar yang tidak dapat ditangani oleh sekolah secara tunggal seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dilihat menurut Indeks Pembangunan Manusia, banyaknya warga masyarakat miskin dan buta huruf, pengangguran terdidik, anak balita dan anak usia sekolah yang belum terlayani oleh sekolah di samping banyaknya anak putus sekolah pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Di sini pendidikan nonformal menghadapi permasalahan yang berupa keragaman sasaran dan sebaran sasaran secara geografis yang begitu luas.Misi utama pendidikan nonformal harus memiliki keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan (antara lain terjadi karena proses kemiskinan struktural) dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga dengan demikian segenap aktivitas pendidikan nonformal selalu didasarkan pada upaya pengembangan SDM (individu dan masyarakatnya) dan pelestarian sumber daya alam yang dimiliki berbasis pada kebutuhan riil individu dan masyarakat yang terpinggirkan itu, bukan kepentingan proyek.Ditambahkan Yoyon, pendidikan nonformal sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional, dapat berperan melaksanakan kebijakan pemerataan pelayanan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan nonformal yang watak dasarnya adalah populis bukan elitis dapat mampu memberikan kemudahan kepada individu dan masyarakat untuk belajar dan mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, dan melanjutkan pendidikan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. รข€�Pendidikan nonformal penting untuk mengembangkan keberpihakan kepada masyarakat yang tidak mampu dengan tetap memperhatikan pentingnya kualitas pendidikan yang bisa menjawab tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perubahan masyarakat, tuturnya.


3. Pendidikan Nonformal

Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.
Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.
Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.
Artikel 4
Media Massa sebagai Pelaku Pendidikan Informal Terbesar

Jakarta, Rabu (26 Maret 2008) -- Pemerintah berperan dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada warga negara. Selama ini peran tersebut diurusi oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag) melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Di sisi lain, pada pendidikan jalur informal pemeran utamanya adalah masyarakat sendiri dan yang paling besar pelakunya adalah media massa.
" Ada pendidikan yang tidak diregulasi. Dilakukan oleh keluarga ataupun oleh masyarakat secara mandiri tanpa ada dukungan dana dari APBN. Pendidikan informal yang terbesar melakukan adalah justru media massa," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara silaturahmi Mendiknas dengan para pimpinan media massa di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (26/03/2008) .
Hadir dalam acara Editor In Chief Harian Indo Pos Imam Syafi'i, Direktur Utama ANTARA Ahmad Muklis Yusuf, Director of Product Radio Smartfm Budi Setiawan, President Director TVRI I.G.N. Arsana, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Trias Kuncahyono, Chief Editor The Jakarta Post Endy M. Bayuni, dan Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV Makroen Sanjaya. Turut hadir mendampingi Mendiknas para pejabat eselon I Depdiknas.
Mendiknas menyampaikan, paradigma pendidikan untuk semua (Education for All) adalah membangun manusia seutuhnya bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Pendidikan ini, kata Mendiknas, bersifat inklusif dan dilakukan sepanjang hayat. Untuk itu pemerintah harus memberikan pelayanan yang memungkinkan setiap warga negara untuk setiap saat menjadi pembelajar.
Meski demikian, lanjut Mendiknas, tidak mungkin kalau tugas pelayanan pendidikan seluruhnya diserahkan kepada Depdiknas maupun Depag. " Ada porsi besar yang diambil masyarakat sendiri. Di sinilah betapa besarnya peran media massa," ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Mendiknas memaparkan hasil-hasil pembangunan pendidikan nasional periode 2005-2007. Mendiknas menyampaikan kerangka hukum reformasi pendidikan di Indonesia dimulai sejak amandemen pertama UUD 1945 pada 1999. Kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Tahun 2003.
Setelah itu disusul UU Guru dan Dosen Tahun 2005 dan UU Perpustakaan Tahun 2007 dan sedang dalam proses adalah UU Badan Hukum Pendidikan. " Ini perlu saya paparkan untuk menjadi jawaban saya terhadap keluhan masyarakat tentang ganti menteri maka ganti kebijakan. Ini tidak akan bisa terjadi kalau sudah dipatri dalam undang-undang," kata Mendiknas.
Mendiknas mengajak kepada semua media massa untuk bekerjasama memajukan pendidikan dan upaya yang dilakukan bersama tidak saling meniadakan. " Jangan sampai yang dilakukan oleh media itu kemudian dianulir oleh Mendiknas atau yang dilakukan oleh Mendiknas itu dianulir oleh media massa di dalam kehidupan sehari-hari," kata Mendiknas.
Artikel 5
Perbanyak Sekolah Informal
Kebijakan tentang ditambahnya peluang pendidikan informal memang tengah gencar-gencarnya disosialisasikan oleh pemerintah. Jika saja kita mampu mengapresiasi kebijakan itu secara positif, maka tak harus ada lagi istilah putus sekolah karena kekurangan biaya, tak punya baju seragam, gedung sekolahnya jauh di gunung atau mungkin nyaris roboh. Sekolah informal bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja yang memiliki pengetahuan.Pendidikan bukanlah monopoli sekolah formal. Terlebih jika terkait dengan “masa depan” finansial, hubungan antara pendidikan formal dan pekerjaan seringkali tak beriringan. Semuanya sangat tergantung pada kemauan belajar, kerja keras, dan adaptasi anak-anak terhadap perkembangan zaman.
Seorang petani lulusan sekolah dasar, karena kegigihannya bisa hidup berkecukupan hanya dengan menanam sayuran, TAPI sarjana yang sudah dua tahun lebih lulus dari perguruan tinggi, karena tak punya skill yang memadai untuk memasuki pasar kerja atau mungkin terlalu pilih-pilih pekerjaan, bisa jadi masih saja jadi pengangguran. Semua sangat relatif jika ukurannya adalah kesuksesan masa depan finansial.
Sayangnya, sekolah informal selama ini sering dianggap sebagai sekolah kelas 3 setelah pendidikan formal dan non formal. Sekolah informal lebih berkesan sebagai pilihan paling akhir dari model pendidikan yang ada, yaitu hanya ditujukan bagi mereka yang putus sekolah, ekonomi lemah, kecerdasan rendah, berkebutuhan khusus, dan hal-hal yang marginal lainnya.
Sesungguhnya, sekolah informal bisa berperan lebih dari sekedar alternatif dari pendidikan formal. Namun patut diakui, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh kualitas para penyelenggaranya. Sekolah informal bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya kreativitas pendidikan yang selama ini terlalu dikerangkeng oleh aturan-aturan yang kaku. Sekolah informal bisa menjadi wadah untuk melihat pelajaran dari sudut pandang yang berbeda, yang lebih heterogen, dan juga adaptif terhadap perkembangan yang ada.
Kalau di sekolah formal tumbuhan hanya dipandang sebatas makhluk hidup yang tidak bergerak, memiliki daun, batang, dan akar, maka di sekolah informal seorang pendidik bisa membawa anak-anak pada realitas tumbuhan yang sebenarnya, yang fungsinya bagi kehidupan begitu substansial, sehingga memelihara dan membudidayakannya menjadi sebuah kebutuhan bersama, sehingga menyemai biji dan kemudian menanamnya menjadi pekerjaan lanjutan yang mengasyikkan dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu.
Sekolah informal. Semoga siapapun yang peduli, tertarik, dan merasa memiliki kemampuan akan tetap bersemangat untuk menumbuhkannya di wilayah-wilayah terdekat. Hal itu insya Allah akan menjadi amal sholeh tiada terputus yang bisa kita berikan dalam kehidupan ini. Selamat berkarya!
Artikel 6
Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.
Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).
Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.
Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.
Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.
Keberlanjutan dan Pengembangan Program
Menurut Yusup, program yang sedang berjalan ini masih belum pasti apakah masih akan mendapat support dana dari Depdiknas untuk kelanjutan programnya, namun karena melihat manfaat program yang besar serta sambutan masyarakat yang besar, dengan ada tidaknya bantuan dari pemeintah segenap pengelola dan keluarga besar Muhammadiyah Kabupaten Bogor bertekad untuk meneruskan program ini.
Yusup mengakui, selama ini masalah yang dihadapi adalah kecilnya honor tutor yang saat ini berjumlah seratus orang. Karen a itu, selain berharap bahwa ke depan masih akan ada pihak-pihak yang mau bekerjasama membiayai program strategis ini, juga perlu diperhatikan bagaimana menaikkan kesejahteraan para tutor yang diambil dari keluarga besar Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Bogor sendiri.
Saat ini, PKBM Tunas Melati bertempat di kompleks amal usaha Muhammadiyah Kabupaten Bogor, Jl Raya Leuwiliang No. 106, Bogor. Telp. 0251 47619. Di kompleks tersebut berdiri TK ABA, MI Muhammadiyah, Mu’alimim Muhammadiyah (Mts dan MA), BMT, Poskestren, Panti Asuhan Yatim dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar