Rabu, 27 Mei 2009

resume buku

Paradigma Baru
Pendidikan Nasional
BAB 1. Membangun Kembali Perguruan Tinggi Islam

Perguruan tinggi islam mempunyai riwayat yang panjang. Bahkan Universitas Al-Azhar Kairo secara internasional diakui sebagai universitas tertua didunia. Tidak ragu lagi PTI, khususnya Universitas Al-Azhar, memainkan peran sangat penting tidak hanya dalam dan transmisi ilmu-ilmu keislaman, tetapijuga dalam dakwah. Fungsi dakwah ini semakin menguat setelah Al-Jamiah Al-Azhar menjadi lembaga pendidikan sunni.

Ortodoksi versus Modernisasi
Keserbamemadaian Universitas Al-Azhar dan juga lembaga-lembaga pendidikan islam lainnya, seperti madrasah, dengan wacana akademis dan keilmuan ortodoks mendapat tantangan dari modernitas yang semakin kuat memasuki wilayah-wilayah muslim sejak abad ke-19. kenyataan ini mendorong semakin kuatnya gagasan dan upaya pembaruan pendidikan islam. Bahkan dapat disimpulkan Husain dan Ashraf, pendidikan islam pada umumnya terjepit dalam konflik antara tradisi dan modernitas.
Sebagaimana juga diungkapkan Azra, Husain dan Ashraf melihat adanya dua sistem pendidikan yang dominant dikalangan masyarakat muslim. Pertama, pendidikan tradisional yang membatasi diri pada ilmu-ilmu klasik islam, dan tidak menunjukan minat serius untuk mengadopsi atau mengembangkan metode-metode baru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kedua adalah sistem pendidikan yang pada dasarnya dipinjam dari barat, dan dilaksanakan oleh pemerintahan Negara-negara muslim


Universitas islam
bisa dipahami jika ada usaha-usaha dikalangan kaum muslimin untuk membangun sebuah “sistem ketiga”, sistem ketiga ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatasi dikotomi di antara kedua sistem dan substansi, dan sebaliknya, melainkan “reintegrasi” di antara keduanya. Dan, dalam kaitan ini, setidaknya telah berkembang tiga model.
Pertama adalah model dimana kedua sistem dan substansi keilmuan ditempatkan dibawah satu atap.dalam model pertama ini, secara substansi sebenarnya masih terjadi dikotomi antar fakultas. Bahkan terdapat kecenderungan kuat, bahwa fakultas agama menjadi fakultas marjinal, yang menarik hanya sedikit mahasiswa.
Model kedua adalah model Universitas Islam Antar-Bangsa baik di Islamabad, Pakistan, maupun di kuala Lumpur, Malaysia, model ini menwarkan kelembagaan keilmuan-selanjutnya fakultas-fakultas dan jurusan-dengan klasifikasi faculty of revealed knowledge, fakultas-fakultas ilmu non wahyu , seperti ekonomi, teknik, dan sebagainya.=]
Model ketiga adalah model IAIN. Dalam model ini, ilmu-ilmu agama menjadi titik tolak yang mrupakan inti seluruh wacana dan proses keilmuan dan akademis. Sedangkan ilmu-ilmu umum menjadi suplemen dan pelengkap yang terintegrasi sepenuhnya kedalm kurikulum. Masalah pada model ketiga ini adlah secara institusional IAIN dipandang dan diperlakukan sebagai perguruan tinggi “murni agama” terlepas dari kenyataan bahwa kurikulumnnya dan bahkan kelembagaannya juga mencakup jurusan-jurusan umum.


BAB 2. Peran dan Tantangan Perguruan Tinggi

“one among the core missions and value of higher education is to) … help protect and enhance societal values by training young people in the value which from the basis of democratic citizenship and by providing critical and detached perspectives to in the discussion of strategic options and the reinforcement of humanistic persfectives” (UNESCO, 1998:4)
Sejauh menyangkut krisis mentalitas dan moral mahasiswa, terdapat beberapa masalah pokok yang menjadi akar krisisi mentalitas dan moral di lingkungan PT ( cf Djohar, 1999; Navis, 1999). Pertama, arah pendidikan telah kehilangan objektivitas. Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan PT. ketiga, proses pendidikan di PT sangat membelenggu mahasiswa dan, bahkan juga dosen. Keempat, beban kurikulum yang demkian berat, lebih parah lagi hamper sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka. Kelima, kalaupun ada materi yang dapay menumbuhkan rasa afeksi-seperti matakuliah agama-ia umumnya disampaikan dalam bentuk verbalisme, yang juga disertai dengan rote-memorizing. Keenam, pada saat yang sama mahasiswa dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering bertentangan. Ketujuh, selain itu mahasiswa juga mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik di lingkungannya.
Ketujuh masalah tersebut bukanlah daftar yang exhaustiver, dan karena itu bisa ditambah lagi yang lainnya. Dan, sebab itu, upaya mengatasinya tidak bisa dilakukan secara ad hoc dan parsial. Bahkan dapat dikatakan, pemecahan masalah-masalah besar itu meniscayakan reformasi itu sendiri secara keseluruhan.

Peran Moral dan Etik PT
Dalam konteks ini, saya memandang relevan mengangkat kutipan pada awal makalah ini, yang memandang dalam “World Declaration on Higher Educationfor the Twenty-First Century: Vision and Action” UNESCO,1998). Gagasan dan konsep yang terkandung dalam Deklarasi UNESCO yang dikutip di atas juga selaras dengan kerangka dasar konsep “paradigma baru” PT . dlam parasigma baru PT, pendidikan dirumuskan sebagai proses pembudayaan peserta didik, sehingaga mereka menjadi warga Negara yang memiliki “keadaban”, yang pada gilirannya menjadi pilar bagi pembentukan masyarakat madani dalam Indonesia baru.
Dilihat dari segi ini, hemat saya, pendidikan-termasuk di PT, bertuagas mengembangkan setidak-tidaknya lima bentuk kecerdasan: pertama, kecerdasan intelektual; kedua, kecerdasan emosional; ketiga, kecerdasan pratical; keempat, kecerdasan social; dan kelima, kecerdasan spiritual dan moral. Di sinilah terletak penekanan utama proses pendidikan, bahwa pendidikan harus bepusat pada peserta didik.
Membangun Karakter di PT
Seperti dikemukakan di atas, PT dapat melakukan “sesuatu” sebagaimana disarankan berikut ini. Pertama, menerapkan pendekatan “modeling”dan “exemplary”. Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasiikan secara terus-menerus tentang berbagai nilai yang baik atau buruk. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karacter.


BAB 3. Paradigma Baru Perguruan Tinggi: Visi IAIN

Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan bagian integral dari system pendidikan nasional. Karena itu, IAIN secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-peruahan paradigma, konsep, visi, dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/pergurusn tinggi nasional, dan bahkan internasional, seperti dirumuskan dalam deklaraasi UNESCO.

Paradigma Baru PT
Dalam dunia yang semakin berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru PT. paradifma baru itu, mau tidak mau, melibstkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transaran dan akuntable. Paradigma baru PT yang sekarang ini di Indonesia menjadi kernagka dan landasan pengembangan [T-sebagaimana akan kita bahas ini-merupakan hasil dan pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada tingkst nasional maupun inetrnasioanal.
Reassessment terhadap kinerja PT secara komprehensf,menhasilkan pemikiran dan konsep barutentang pengembangan PT,bisa kita lihat Amijaya91976). Amijaya mengajukan lima program besar. Pertama, peningkatan produktivitas PT; kedua, peningkatan daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan kepada masyarakat; keempat, peningkatatn bidang keilmuan eksakta atau iptek; kelima, peningkatan kemampuan berkembang. Harus siakui, program diatas tidak banyak berhasil,sebab itu, sebuah konsep pengembangan PT jangka panjang 1986-1995 yang sedikit berbeda diperkenalkan (Ranuwiharjo, 1985), pertama, peningkatan kualitas PT; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga, peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.
Hal yang tak kurang pentingnya bagian lain dari “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip disini adalah tentang peran etik, otonomi, tanggung jawab dan fungsi antisipaif PT. penting dicatat, di samping penekanan yang kuat kepada fungsi-fungsi PT vis-à-vis masyarakat pada umumnya, PT juga dituntut menjadikan para mahasiswa sebagai actor-aktor utama; atau dengan kata lain, mengembangkan PT yang menjadikan mahasiswa sebagai “pasat’ atau “orientasi” dalam seluruh kegiatannya.
Paradigma baru PT itu pada dasarnya bertumpu kepada tiga tungku utama, yakni: Pertama, greater autonomy, kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi. Kedua, greater quality accountability, akuntabilitas atau tanggung urai, bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggung jawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Ketiga, greater quality assurance; jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan; dan evaluasi eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional(BAN).

Paradigma Baru: Visi IAIN Jakarta
Konsep dasar awal pengembangan IAIN Jakarta pada 1990-an adalah perubahan IAIN Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta.
Dari berbagai pertimbangan semua hal yang ada, yang dapat dilakukan IAIN Jakarta sesuai dengan latar belakang pemikiran di atas adalah: Pertama, mempertahankan kelembagaan IAIN dengan mandate formalnya sekarang, yakni dalam bidang ilmu agama, tetapi tetap mengupayakan pencapaian substansi yang berada di balik gagasan pembentukan UIN, misalnya, rapprochement antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, dan agar kajian-kajian keilmuan di IAIN lebih kontekstual dan relevan dengan perkembangan jaman. Kedua, mempertahankan kelembagaan IAIN Jakarta seperti sekarang ini, tetapi dengan mengadopsi konsep IAIN with wider mandate.
Dalam mempertimbangkan berbagai constraint yang ada, pentingnya islam sebagai core semua ilmu, dan pertimbangan histories, maka alternatif kedua inilah yang dalam dua tahun terakhir ini dipilih IAIN Jakarta.

BAB 4. Kompetisi Lulusan Program Pascasarjana

Program pascasarjana (PPS) IAIN yang mulai berkembang sejak paroh pertama dasawarsa 1980 ( IAIN Jakarta, 1982, dan IAIN Yogyakarta, 1983). Dari satu segi, perkemangan ini bisa ajdi menggembirakan, karena hal ini setidak-tidaknya secara lahiriah mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan penyelenggaraan program akademis pada tingkat lanjutan dan sekaligus menunjukan semakin berkembangnya social equity dalam pendidikan post-graduate. Akan tetapi, sulit dihindari adanya kesan bahwa dalam kasus-kasus tertentu, penyelenggaraan PPS itu lebih didorong semangat “tidak mau kalah” daripada dilandasi pertimbangan kesiapan dan kemampuan akademis yang memadai dari berbagai aspek penyelenggaraanya.
Dari sudut ekspektasi akademis keilmuan keislaman, maupun harapan social setiap peserta/lulusan PPS IAIN mesti memiliki pengetahuan umum tentang Islam. Pengalaman dan oservasi baik terhadap peserta test masuk PPS maupun mereka yang akan menyelesaikan programnya-baik S2 maupun S3- menunjukan terdapat cukup banyak di antara mereka yang memiliki pengetahuan yang sangat minimal tentang Islam umumnya. Banyak di antara mereka selain tidak memiliki pengetahuan memedai tentang Islam secara umum, juga sebagai konsekuensinnya tidak mampu menjelaskan Islam secara baik. Untuk itu maka diperlukan kebijaksanaan khusus, baik pada testing masuk, maupun selama perkuliahan dan menjelang penyelesaian program.
Kompetensi keahlian dalam bidang yang sesuai dengan konsentrasi dalam kasus-kasus tertentu juga tidak memadai. Hal ini selain disebabkan kurang terjadinya tenaga dosen yang memang ahli dalam bidang tersebut, juga karena komposisi kurikulum yang tidak memadai untuk menunjang pembentukan keahlian. Kompetensi dalam penelitian sampai saat ini jelas terlihat masih lemah. Kelemahan ini terkait bukan hanya dengan kelemaham dalam penguasaan metodologi penelitian, tetapi juga karena minimalnya pengetahuan peserta PPS dalam ilmu-ilmu lain yang merupakan ilmu-ilmu Bantu dalam melakukan penelitian.
Untuk pengembangan berbagai kompetensi peserta PPS tersebut di atas maka sudah waktunya diselenggarakan “program sandwich” dan “program pertukaran” di antara PPS-PPS yang ada. Program semacam ini memberikan kesempatan yang sangat baik bagi para peserta untuk mengambil berbagai matakuliah yang relevan dengan kompetensi yang tengah ia bangun dan kembangkan.


BAB 5. Posisi Madrasah di Dunia Pendidikan Nasional

Apa yang saya buat dalam tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan umum yang berlangsung di dunia pendidikan di Indonesia, khususnya madrasah. Tanpa memperhatikan dinaamika yang terjadi di tingkat bawahnya, IAIN/STAIN sangat berpotensi menjadi “menara gading”. Dalam konteks inilah tulisan saya berikut lebih berarti sebagai ajakan pada kita bersama bagaimana mestinya merancang bangun program study Tarbiyah di IAIN/STAIN.

Persoalan yang Berkembang di Dunia Madrasah
Perlahan namun pasti, dikotomi antarmadrasah dan sekolah umum mulai pudar. Perkembangan tersebut membawa implikasi yang cukup mendasar bagi keberadaan madrasah. Di sini ia boleh mengklaim dirinya sebagi “sekolah umum plus”. Sementara di sisi lain, karena tuntutan untuk memperkaya peran dan fungsinya, madrasah mendapatkan beban tambahan yang cukup berat. Beratnya beban yang diemban oleh madrasah tersebut masih ditambah dengan rendahnya kualitas sumber-sumber daya pembelajaran. Di samping sumber daya guru, minimnya fasilitas pembelajaran, institusi madrasah juga masih banyak memiliki kendala manajemen.
Dalam konteks sekarang ini, kita melihat bahwa pendidkan di madrasah cendeung tidak memberikan pemahaman yang lengkap mengenai system budaya yang berlaku, sehingga membuat peserta didiknya tidak mampu menjalani kehidupan secara bermakna. Idealnya, dunia madrasah memiliki suatu gambaran dari masyarakat yang diidam-idamkan. Berpedoman pada gambaran ini sebagai suatu model normatif, dunia madrasah melakukan penilaian-penilaian terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, sekaligus menentukan langkah pembaharuanpendidikan.


Masalah Pokok
Suka atau tidak, situasi yang memprihatinkan yang terjadi di dunia madrasah sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan kesalahan yang dilakukan oleh IAIN/STAIN, khususnya Fakultas Tarbiyah/Jurusan Tarbiyah yang berada di dalamnya. Sebagai institusi yang mengemban misi melahirkan sarjana di bidang pendidikan Islam, dan kemudian menjadi tenaga professional di bidangnya, yang dalam banyak hal menjadi guru-guru di madrasah, Fakultas/Jurusan Tarbiyah harus merasa bertanggung jawab dengan carut-marut dunia pendidikan yang terjadi di madrasah.


BAB 6. Reposisi Madrasah: Dilema dan Prospek

Memasuki abad ke-21, madrasah di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Dilemma dan pilihan-pilihan sulit yang dihadapi madrasah banyak berkaitan dengan perkembangan internal madrasah.mempertimbangkan semua dilema dan pilihan sulit yang dihadapi madrasah, maka pemikiran tentang reposisi madrasah menjadi hal yang mendesak untuk dikembangkan.

Kebangkitan Madrasah?
Selama ini madrasah dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional islam, baik yang berada di dalam maupun di luar kelembagaan pesantren. Madrasah, terlepas dari berbagai keterbatasan yang dihadapinya, harus diakui telah turut membina dan mengembangkan SDM kaum Muslimin, baik dalm bidang pebgetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan muncul dan berkembang ninat kalangan masyarakat Muslim Indonesia untuk membangun madrasah unggulan dalam bebagai jenjang pendidikan.
Berbarengan dengan peningkatan minat dan harapan kaum Muslimin umumnya terhadap madrasah, maka kebijakan pendidikan nasional beberapa tahun terakhir ini mengharuskan madrasah, khususnya Madrasah Aliyah, untuk juga lebih mengembangkan jurusan-jurusan umum, dan keterampilan

BAB 7. Kurikulum Mdrasah dalam Era Otonomi Pendidikan

Otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22/1999 telah menimbulkan perasaan besar. Pendidikan umum yang berada di bawah Depdiknas ikut mengalami desentralisasi,sementara pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama masih belum jelas. Terlepas dari pilihan mana yangakan diambil, semngat dan proses otonomi dan desentralisasi,suka atau tidak, turut mempengaruhi keseluruhan sistem pendidikan agama, khususnya madrasah, dan dalam pembicaraan ini kurikulum madrasah.
Kurkulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah (madrasah), dan pengawas pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Lebih dari itu, kurikulum merupakan penejawatan dari tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Dengan demikian harus terdapat perbedaan antara kurikulum MI, MTs, dan MA. Kurikulum MI dan MTs, sebgai pendidikan dasar lebih menekankan pada transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak, sedangka MA selain kedua hal ini juga menekankan pembentukan dan pembinaan keterampilan yang kini popular sebagai life skills.
Sentralisme yamg sangat menonjol dalam kurikulum yamg dikeluarkan Depdiknas yang kemudian “dilengkapi” dengan “kurikulum Depag” mestilah disederhanakan. Selebihnya muatan kurkulum itu harus didesentralisasikan, sehingga memberikan peluang leih besar dan maksimal bagi daerah dan sekolah/madrasah untuk merumuskan kurikulumnya sendiri berdasarkan kepentingan stakeholders di daerah.




BAB 8. Pengelompokan Disiplin “Ilmu Agama”

Tema pengelompokan “ilmu agama” secara implisit mengisyaratkan adanya dikotomi yang lazim di kalangan kaum Muslimin tentang “ilmu agama” pada saut pihak dan “ilmu umum” pada pihak lain.

Dikotomi Ilmu dan Respons IAIN
Untuk tingkat pendidikan tinggi , dikotomi kedua batang tubuh ilmu tersebut dan kelembagaan itu telah lama disadari menimbulkan berbagai berbagai masalah bagi IAIN,. Terdapat kecurigaan dari kalangan Muslim, bahwa upaya mengatasi dikotomi ilmu tersebut merupakan langkah awal dari likuidasi IAIN ke dalam sistem pendidikan di bawah Depdikbud. Terlepas dari masalah terakhir ini, di lingkungan IAIN, atas persetujuan Departemen Agama,sejak 1970-an telah melakukan berbagai upaya untuk memperkecil jika tidak menghilangkan dikotomi tersebut. Pertama, memperkenalkan dan memperbanyak matakuliah umum seperti filsafat umum, sosiologi, perbandingan agama, statistic dll dalam kurikulum nasional IAIN. Kedua, mendirikan dan mengembangkan jurusan-jurusan umum seperi jurusan Pedagogik, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dll pada dasawarsa 1970-an.

Reklasifikasi “Ilmu Agama” dan Reintegrasi Ilmu
Menurut ketentuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), disiplin ilmu agama yang menjadi bidang keilmuan IAIN mencakup delapan bidang: pertama, bidang sumber ajaran islam, yakni AlQuaran dan hadist; kedua, bidang pemikiran islam yang terdiri dari ilmu kalam (teologi), falsafah, dan tasawuf; ketiga, bidang syariah (hukum Islam) dan pranata social lainnya; keempat, bidang sejarah dan peradaban Islami; kelima, perkembangan modern di dunia Islam; keenam, bahasa dan saatra Arab; ketujuh, bidang pendidikan Islam (tarbiyah); dan kedelapan, bidang dakwah Islam.
Tidak begitu jelas alasan kenapa disiplin “ilmu agama” mencakup hnaya delapan bidang, di antara kedelapan bidang itu terdapat bidang yang sulit dikategorisasikan sebagai disiplin atau subdisiplin ilmu.
Terlepas dari persoalan terakhir ini, cakupan delapan bidang disiplin “ ilmu agama” tersebut jelas lebih luas dari pada pembidangan dan klasifikasi ilmu agama pada saat meningkatnya ortodoksi Sunni pasca Imam Al-Ghazali khususnya.

Reintegrasi ilmu
Memandang berbagai dampak dan implikasi negative dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum,untuk melakukan “reintegrasi ilmu-ilmu”, dalam kerangka ini, ilmu-ilmu dipandang sebagai suatu kesatuan, yang setara hierarkinya, yang dari perspektif islam sama-sama mendapat pahala jika menuntut dan menekuninya. Walau Islam mengajarkan integralisma keilmuan yang bisa juga disebut sebagai tawhidig paradigm of science pada tingkat konseptual, tetapi harus diakui pada tingkat praksisi tidak terjadi disharmoni, dan dikotomi di antara keduanya, seperti dikemukakan diatas.
Apa arti semua klasifikasi ilmu-ilmu yang demikian rumit tersebut? Ia menunjukan komplesitas ilmu-ilmu yang berkembang dalam tradisi keilmuan dan peradaban islam. Ia menegaskan bahwa ilmu-ilmu agama hanyalah salah satu bagian dari ilmu-ilmu Islam secara keseluruhan. Pada tingkst praksisi bisa dikatakan, kemajuan peradaban kaum muslimin berkaitan dengan kemajuan seluruh aspek dan bidang bidang keilmuan. Jadi, tatkala bidang-bidang ilmu tertentu dimakruhkan apalagi diharamkan, maka akan terciptalah disharmoni, diskrepansi yang mengkibatkan retardasi peradaban muslim secara keseluruhan.


BAB 9. Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam

Dalam tulisan ini akan dipetakan bebrapa persoalan yang dihadapi system pemikiran dan pendidikan islam.peta pertama meliputi du permasalahan. Pertama, berkenaan dengan situasi riil system pemikiran dan juga system pendidikan islam. Kedua, berkenaan dengan upaya rekonstruksi ilmu sebagai alternative apa yang harus kita lakukan di dalam merekonstruksi system pendidikan islam ini.
Permasalahan pertama berkait dengan situasi objektif pendidikan islam, yaitu adanya krisis konseptual. Krisis konseptual tentang definisi atau pembatasan ilmu-ilmu di dalam sisitem pendidikan islam itu sendiri, atau dalam konteks Indonesia adalah Sistem Pendidikan Nasional. Krisis konseptual dimaksud adalah tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam islam.
Permasalahan kedua adalah krisis kelembagaan. Ini berkaitan dengan permasalahan yang pertama. Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum. Dikotomi ilmu tersebut dalam bebrapa hal mungkin ada baiknya. Persoalannya, kalau kita tidak setuju atau berkeberatan dengan dikotomi semacam itu lebih banyak berkaitan dengan persoalan politik. Maka lembaga-lembaga Pendidikan Islam ini persoalannya bukan hanya menyangkut pendidikan Islam, tapi juga menyangkut ideology, ada proses ideologisasi.
Selain kedua persoalan di atas, muncul persoalan ketiga yaitu adanya konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam dengan modernitas. Selanjutnya muncul pula persoalan keempat yaitu krisis metodologi atau krisis pedagogic. Permasalahan terakhir, kelima, adalah krisis orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya lebih berorientasi ke masa silam ketimbang ke masa depan.


BAB 10. Strategi Pengembangan Pendidikan Agama di Aceh

Otonomi khusus NAD memberikan peluang sangat besar bagi pembangunan kembali dan pengembangan pendidikan agama di NAD. Pendidikan agama memiliki landasan yang amat kuat dalam masyarakat NAD yang terkenal sebagai salah satu suku bangsa yang sangat kuat memegang Islam. Membangun kembali pendidikan agama di NAD, selain bertujuan untuk membangkitkan kembali tradisi kependidikan agama, lebih jauh lagi untuk memperkuat landasan sosiokultural keagamaan.
Pembangunan kembali pendidikan agama di NAD dapat bertitik tolak dari kelembagaan pendidikan agama yang ada, seperti madrasah dan pesantren. Bahkan, sesuai dengan otonomi khusus NAD, sekolah-sekolah umu juga dapat dikonversi menjadi “pendidikan agama” tanpa kehilangan bobot “pendidikan umum”-nya yang juga diperlukan dalam kehidupan dan masa depan NAD. Dengan otonomi khusus NAD, perumusan kurikulum khusus bagi “pendidikan agam” di Aceh sanagnt dimungkinkan, jika tidak sebuah keharusan.
Karena otonomisasi khusus NAD, maka kurikulum Depdiknas yang diikuti madrasah juga harus ditinjau kembali, atau bahkan diikuti hanya secara sangat terbatas. Sentralisme yang sangat menonjol dalam kurikulum yang dikeluarkan Depdiknas yang kemudian “dilengkapi” dengan “kurikulum Depag” mestilah disederhanakan, dengan hanya menggariskan kebijakan, prinsip minimal, yang pada intinya hanya bertujuan untuk menjamin adanya standar dasar umum bagi pendidikan nasional secara keseluruhan.
Dalam konteks otonomi khusus NAD dan desentralisasi pendidikan, pengertian kurikulum juga harus disesuaikan. Maka pengertian kurikulum yang lebih tepat dalam konteks tersebut adalah “sejumlah pengalaman (pendidikan) yang ditempuh peserta didik dengan bimbingan sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan sekolah masing-masing”. Paradigma kurikulum seperti itu lebih popular disebut sebagai kurikulum berbasis sekolah.
Untuk menyimpulkan, pengembangan kirikulum berbasis sekolah di wilayah NAD merupakan alternative terbaik bagi pembangunan kembali dan sekaligus peningkatan pendidikan madrasah pada masa otonomi khusus NAD dan desentralisasi pendidikan yang terus menemukan momentumnya dan kelihatannya tidak bisa dimundurkan lagi. Meski demikian, madrasah memiliki modal sangat besar dalam bentuk pengalaman panjang sebagai lembaga pendidikan “ community-based education.


BAB 11. Surau atau Pesantren

Dalam masyarakat Minang, istilah surau bagi mereka mungkin lebih sering diasosiasikan atau bahkan diidentikkan dengan langgar atau musala. Lebih celaka lagi, ketika mendemgar istilah surau yang terbayang di kepala mereka agaknya adalah “pakiak saringgik”, yang berkeliling dari rumah ke rumah, pecan ke pecan. Dengan kata lain, surau barangkali lebih sering dianggap sebagai sebuah symbol keterbelakangan atau seperti pernah dikeluhkan Buya Hamka, symbol “dunia tangkelek dan kain sarung” sebagai kontras dengan “dunia sepatu dan pantaloon” yang mempresentasikan kemajuan.
Sejauh mana kebenaran dan tingkat akurasi persepsi seperti ini pada masa sekarang, tampaknya perlu dikaji lebih jauh. Tetapi tidak terlihatnya tanda-tanda yang menyakinkan bagi”kebangkitan kembali” surau sebagai lembaga fuul-fledged pendidikan,agama,social, dan budaya, maka bisa dipastikan bahwa persepsi semacam ini masih tetap dominant. Bahkan sebaliknya, surau nyaris hilang tidak hanya dari “public discourse” masyarakat minang sendiri tetapi juga dalam nomenklatur kontemporer kelembagaan pendidikan islam.

Surau kian terendam
Keterpinggiran surau ini semakin terlihat dengan perkembangan kelembagaan pendidikan-keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Minang, khususnya di ranah Minang. Perkembangan institusi pendidikan keagamaan tersebut tidak bisa lain berkaitan erat dengan semakin meningkatnya keprihatinan tentang kemerosotan ssosialisasi adapt, budaya dan agama dikalangan generasi muda. Sementara pada saat yang sama, khususnya pada intelektualisme keagamaan, satu persatu ulama besar Minang wafat, baik yang di ranah maupun di rantau sejak HMD Palimo Kayo, Buya Hamka, AR S utan Mansyur, dan seterusnya,
Orang-orang besar dari dari surau ini pergi dalam kenestapaan menykasikan kemerosotan surau secara continu. Sementara mereka wafat, surau sebagai lembaga yang pernah efektif dalam reproduksi ulama dan kepemimpinan masyarakat Minang tetapi tidak menunjukan tanda-tanda pemulihan dan kebangkitan. Bahkan surau kelihatan semakin terandam.
Semakin terandamnya surau dalam masa-masa terakhir ini dalam banyak hal masih berkaitan dengan factor-faktor di masa silam. Yakni, meningkatnya aspirasi “modernisasi” dan bahkan “sekularisasi” dalam masyarakat Minang. Aspirasi semacam inilah yang pernah disebut sejarawan Taufik Abdullah sebagai “ hasrat keras yang menyala-nyala untuk masuk kealam kemajuan”. Aspirasi untuk memasuki alam kemjuan ini dimulai dengan transformasi banyak surau menjadi “sekolah nagari” sejak 1870-an. Modernisasi dan pembaruan keagamaan pada awal dasawarsa abad ke-20 semakin membuat surau dipandang banyak masyarakat Minang sebagai semakin tidak relevan dengan “alam kemajuan”.
Kondisinya, seperti bisa diduga dan disaksikan, tidak semakin membaik pada masa-masa tahun pasca kemerdekaan. Bahkan, kondisinya semakin memburuk setelah situasi pasca-PRRI. Bahkan ulam dan calon ulam hujrah dari ranah Minang, karena bukan hanya situasi yang semakin tidak kondusif, tetapi juga karena terciptanya penyakit psikologis yang pernah disebut sebagai “padangtits” atau “minagtitis” diidap banyak orang Minang.
Modernisasi atau tepatnya developmentaism Orde Baru juga tidak mampu membangkitkan kembali surau. Surau sudah terlanjur sangat tarandam, sehingga sangat sukar dibangkitkankembali; atau mungkin sudah benar-benar roboh, seperti pernah secara ironis diungkapkan para sastrawan A.A Navis dalam “Robohnya Surau Kami”.sebaliknya, lembaga pesantren di jawa-yang merupakan equivalent surau dari segipendidikan keagamaan dan reproduksi ulama-semakin menemukan momentunya dengan program-program pemberdayaan dalam fungsi keagamaan, pendidikan,social,budaya dan bahkan ekonomi.

Surau dan Pesantren
Tetapi dibalik potret keprihatinan tadi, masih ada harapan, meski agaknya bergeser dari surau. Kemerosotan dan disfungsi surau yang telah menimbulkan keprihatinan mendalam, harus diakui, telah menjadi stimulant kuat bagi mereka yang peduli untuk mencari dan mewujudkan eksperimen baru. Salah satu eksperimen yang sangat menonjol adalah pendirian PesantrenModern Prof. Dr. Buya Hamka di Pasar Usang, sekitar 20 kilometer dari kota Padang bebrapa tahun lalu.
Terlepas dari persoalan ini, Pesantren Buya Hamka tidak bisa menggantikan peran dan fungsi surau tradisional. Surau merupakan institusi adapt dan budaya. Namun, setidaknya dari sudut pendidikan keislaman, dan sekaligus reproduksi ulama, cerita keberhasilan Pesantren Modern Buya Hamka hemat saya bisa direduplikasi di tempat-tempat lain di Minang.
Karena modernisasi dan urbanisasi, surau agaknya memang tidak lagi menjadi”kamar” bagi anak laki-laki atau menjadi tempat diam bagi laki-laki tua yang ditinggal wafat oleh istrinya; agaknya juga tidak lagi menjadi tempat bermalam bagi laki-laki pedagang babelok. Akan tetapi setidak-tidaknya surau masih bisa secara efektif dimanfaatkan untuk kepentingan transmisi nilai-nilai dasar keagamaan dan adapt istiadat Minangyang konon,”tak lakang di paneh, tak lapuak di hujan”


BAB 12. Pendidikan Kritis, Demokrasi, dan “Civil Society”

“in problem-posing education, men develop their power to perceive critically they way they exist in the world with which and in hich they find themselves; they come to see the world not as a static reality, but as a reality in process, in transformation”(Paulo Freire,1978:56)
Pemberdayan pendidiksn islam-sejak dari madrsah hingga IAIN-menjadi salah satu concern pokok Prof. Dr. Mulyanto Sumardi baik ketika ia menduduki posisi penting dalm bidang pendidikan pada DePARTEMEN Agama, maupun setelah berada diluar jalur birokrasi. Pendidikan islam khususnya madrash dapat disebut sebagai “pendidikan rakyat” sesungguhnya. Karena ketika pendidikan umum sejak jaman Belanda begitu sulit dimasuki anak-anak kaum santri dan cenderung dijauhi banyak kalangan keluarga santri, maka madrasah baik yang ada dilingkungan pesantren maupun berdiri secara independent di bawah yayasan pendidikan islam tertentu-maka pendidikan islam hamper menjadi satu-satunya alternative pendidikan bagi bant\yak keluarga Muslim.
Salah cirri penting pendidikan islam sebagai pendidikan rakyat adalah bahwa ia merupakan pendidikan yang murah dan, karena itu, dapat dijangkau siapa saja. Hal ini karena, beban pembiayaan pendidikan sebagian besarnya dipikul oleh komunitas Muslim sendiri. Karena itu pulalah hingga sekarang, sebagian basar pendidikan islam merupakan milik swasta Muslim. Dengan demikian, pendidikan islam sebagian besarnya merupakan lembaga pendidikan yang otonom vis-à-vis Negara.

Wacana Pendidikan Kritis
“pendidikan kritis”, hemat saya, memiliki setidak-tidaknya dua dimensi: pertama, dimensi internal yang berkaitan dengan dunia pendidikan itu sendiri, kelembagaan,kandungan atau muatan pendidikan, dan terakhir, proses-proses pendidikan yang berlangsung di dalamnya. Dan, kedua, dimensi eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar pendidikan yang bagaimanapun mempengaruhi dunia pendidikan secara keseluruhan.
Secara internal, pendidikan kritis pada dasrnya mempresentasikan gugatan terhadap dinia pendidikan, yang dinilai telah gagal melahirkan peserta didik yang kompeten baik dari segi keilmuan,keahlian,keterampilan, dan keahlian baik untuk kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas.
Hemat saya, pada satu pihak, illich dengan analisanya yang tajam, mampu menelanjangi kebrobrokan dan kelemahan sistem persekolahan, tetapi pada pihak lain, dia tidak mampu memberikan alternatif yang tepat bagi pemecahannya. Alternatif yang ditawarkan denagn menciptakan “jaringan belajar” (learnig webs) mengandung banyak kelemahan. Dengan demikian, ia tetap mengandung banyak diskriminasi dan kelemahan-kelemahan lain, seperti kelembagaan sekolah yang dikecam habis oleh illich sendiri.

Pendidikan Kritis dan Demokrasi
Terlepas dari berbagai kritik dan keberatan terhadap gagasan-gagasan pendidikan kritis seperti di atas, wacana pendidikan kritis pada dasarnya dapat dijadikan starting point tidak hanya untu membangaun system pendidikan yang lebih adil dan berhasil guna, tetapi juga untuk mendorong “demokratisasi” dunia pendidikan secara keseluruhan. Wacana pendidikan kritis, dengan, demikian, merupakan kontribusi penting tidak hanya pada dunia pendidikan dan persekolahan, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan demokratis baik pada tingkat pendidikan, kemasyarakatan, dan Negara-negara secara keseluruhan.
Demokratisasi pemdidikan yang menjadi salah satu gagasan kunci dalam wacana pendidikan kritis dapat dikatakan merupakan salah satu prasyrat penting bagi pertumbuhan sistem politik demokrasi. Perubahan atau trnsformasi realitas politik itu semakin signifikan dan kontekstual bagi Negara-negara berkembang yang tengah berada dalam proses transisi menuju demokrasi dan padam gilirannya bertujuan membentuk civil society seperti indonesia.
Banyak perkembangan terjadi di Indonesia sejak jatuhnya President Soeharto dari kekuasaan yang dipegangnya selama lebih tiga dasawarsa menuju kea rah pengembangan demokrasi. Menurut hemat saya, mengalami demokrasi dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia umumnya. Memang betul, mengalami demokrasi sangat boleh jadi akan melibatkan proses trial and error demokrasi bisa dipahami. Lebih berbahaya lagi, trial and error dalam proses demokratisasi dapat memunculkan biaya social, politik, dan ekonomi yang sangat mahal bagi Negara-bangsa Indonesia.

Pendidikan Demokrasi dan Kewargaan
Sebagaimana diakui semakin banyak pakar tentang demokrasi pada level international, cara paling strategis untuk “mengalami” demokrasi ialah melalui apa yang disebut “democracy education”. Pendidikan demokrasi secara substantive menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, system, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan.
Pendidikan demokrsi tidak hanya urgen bagi Negara-negara yang sedang berada dalam transisi menuju demokrasi seperti Indonesia, tetapi juga bagi Negara-negara mapan demokrasinya. Tetapi harus segera diakui, para ahli pendidikan kewargaan umumnya sepakat bahwa peranan pendidikan kewargaan dalam pengembanagan demokrasi dan kewargaaan demokratis telah jelas, tetapi dlam praktiknya masih terdapat perbedaan-perbedaan. Mereka sepakat, bahwa demokrasiyang tengah tumbuh memerlukan sarana dimana generasi muda umumnya dapat menjadi tahu dan sadar tentang pengetahuan,keahlian, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlikan untuk menyangga, memelihara dan melestarikan demokrasi.
Pendidikan demokrasi dalam segi-segi tertentu identik dengan ‘pendidikan kewargaan”. Tetapi, sebagaimana dijelaskan di atas terlihatbahwa pendidikan kewargaan sangat luas cakupannya daripada sekadar pendidikan demokrasi.

Equivalensi Pendidikan Kewargaan
Mempertimbangkan perkembnagan demokrasi education, civic education, dan citizenship education yang relative baru menemukan momentumnya di bebrapa Negara barat, maka Indonesia sebenarnya sangat beruntung Karen sudah berpengalaman lama dalam bidang ini. Secara substantive, subjek ini sebagian besarnya telah tertampung dlam mata pelajatan PPKn yang sejak 1994 berlaku mulai tingkat SD sampai SMU. Mata pelajaran ini merupakan pengganti mata pelajaran PMP yang diterapkan sejak 1975 sampai 1994. pada tingkat Perguruan Tinggi equivalensinya adalah mata kuliah Pancasila dan kewiraan.


BAB 13. Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi di Dunia Muslim

Kurkulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal, yang menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala sekolah (madrasah), dan pengawas pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Lebih dari itu, kurikulum merupakan penejawatan dari tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Dengan demikian harus terdapat perbedaan antara kurikulum MI, MTs, dan MA. Kurikulum MI dan MTs, sebgai pendidikan dasar lebih menekankan pada transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak, sedangka MA selain kedua hal ini juga menekankan pembentukan dan pembinaan keterampilan yang kini popular sebagai life skills
Sentralisme yamg sangat menonjol dalam kurikulum yamg dikeluarkan Depdiknas yang kemudian “dilengkapi” dengan “kurikulum Depag” mestilah disederhanakan. Selebihnya muatan kurkulum itu harus didesentralisasikan, sehingga memberikan peluang leih besar dan maksimal bagi daerah dan sekolah/madrasah untuk merumuskan kurikulumnya sendiri berdasarkan kepentingan stakeholders di daerah.
Model kedua adalah model Universitas Islam Antar-Bangsa baik di Islamabad, Pakistan, maupun di kuala Lumpur, Malaysia, model ini menwarkan kelembagaan keilmuan-selanjutnya fakultas-fakultas dan jurusan-dengan klasifikasi faculty of revealed knowledge, fakultas-fakultas ilmu non wahyu , seperti ekonomi, teknik, dan sebagainya.
Model ketiga adalah model IAIN. Dalam model ini, ilmu-ilmu agama menjadi titik tolak yang mrupakan inti seluruh wacana dan proses keilmuan dan akademis. Sedangkan ilmu-ilmu umum menjadi suplemen dan pelengkap yang terintegrasi sepenuhnya kedalm kurikulum. Masalah pada model ketiga ini adlah secara institusional IAIN dipandang dan diperlakukan sebagai perguruan tinggi “murni agama” terlepas dari kenyataan bahwa kurikulumnnya dan bahkan kelembagaannya juga mencakup jurusan-jurusan umum.
Dari sudut ekspektasi akademis keilmuan keislaman, maupun harapan social setiap peserta/lulusan PPS IAIN mesti memiliki pengetahuan umum tentang Islam. Pengalaman dan oservasi baik terhadap peserta test masuk PPS maupun mereka yang akan menyelesaikan programnya-baik S2 maupun S3- menunjukan terdapat cukup banyak di antara mereka yang memiliki pengetahuan yang sangat minimal tentang Islam umumnya. Banyak di antara mereka selain tidak memiliki pengetahuan memedai tentang Islam secara umum, juga sebagai konsekuensinnya tidak mampu menjelaskan Islam secara baik. Untuk itu maka diperlukan kebijaksanaan khusus, baik pada testing masuk, maupun selama perkuliahan dan menjelang penyelesaian program.
Kompetensi keahlian dalam bidang yang sesuai dengan konsentrasi dalam kasus-kasus tertentu juga tidak memadai. Hal ini selain disebabkan kurang terjadinya tenaga dosen yang memang ahli dalam bidang tersebut, juga karena komposisi kurikulum yang tidak memadai untuk menunjang pembentukan keahlian. Kompetensi dalam penelitian sampai saat ini jelas terlihat masih lemah. Kelemahan ini terkait bukan hanya dengan kelemaham dalam penguasaan metodologi penelitian, tetapi juga karena minimalnya pengetahuan peserta PPS dalam ilmu-ilmu lain yang merupakan ilmu-ilmu Bantu dalam melakukan penelitian.
Hal yang tak kurang pentingnya bagian lain dari “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip disini adalah tentang peran etik, otonomi, tanggung jawab dan fungsi antisipaif PT. penting dicatat, di samping penekanan yang kuat kepada fungsi-fungsi PT vis-à-vis masyarakat pada umumnya, PT juga dituntut menjadikan para mahasiswa sebagai actor-aktor utama; atau dengan kata lain, mengembangkan PT yang menjadikan mahasiswa sebagai “pasat’ atau “orientasi” dalam seluruh kegiatannya.
Paradigma baru PT itu pada dasarnya bertumpu kepada tiga tungku utama, yakni: Pertama, greater autonomy, kemandirian lebih besar dalam pengelolaan atau otonomi. Kedua, greater quality accountability, akuntabilitas atau tanggung urai, bukan hanya dalam hal pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih bertanggung jawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Ketiga, greater quality assurance; jaminan lebih besar terhadap kualitas melalui evaluasi internal yang dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan; dan evaluasi eksternal yang sekarang ini dilakukan Badan Akreditasi Nasional(BAN).


BAB 14: Peberdayaan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, jakarta, merupakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang khas. Ia bukan hanya sekedar LPTK yang bersifat umum-seperti IKIP yang kini sebagian besar telah menjadi universitas- tetapi LPTK yang bertitik tolak dari pandangan filosofis dan paradigma keilmuan dan kependidikan Islam.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi Fakultas Tarbiyah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan LPTK lainnya, menghadapi tantangan yang berkenaan dengan realitas yang dihadapi produk yang dihasilkannya, tegasnya guru. Profesi guru, harus diakui, tidak lagi diminati anak-anak bangsa terbaik. Masih baynyaknya calon mahasiswa ke Fakultas Tarbiyah tidaklah menceerminkan bahwa fakultas ini memang betul0betul favorit. Pemilihan Fakultas Tarbiyah atau LPTK lainnya lebih didasarkan pertimbangan pragmatis, bahwa sedikitnya ia dapat “menjanjikan” lapangan kerja yang sedikit lebih mungkin dibandingkan fakultas-fakultas lain.
Hingga saat ini, LPTK umumnya termasuk Fakultas Tarbiyah, masih menganut paradigma, technical based teacher education, pendidikan ke(guru)an yang berbasiskan hal-hal teknis tentang pengajaran. Sementara, penuasaan substansi keilmuan yang lebih mendalam-yang bahkan lebih krusial bagi keberhasilan transfer of knowledge kepada peserta didik menjadi cenderung diabaikan. Dan ini pulalah yang kemudian menjadi salah satu alas an lagi bagi banyak IKIP untuk mengubah diri menjadi universitas, sehingga lebih memungkan bagi pengembangan orientasi dan konsentrsi pada bidang-bidang yang disebut sebagai “ilmu murni” bukan keguruan.
Dengan demikian, LPTK khususna Fakultas Trabiyah harus meninjau kembali kurikulum dan PBM yang diselenggarakannya. Kurikulum dan PBM pada Fakultas Tarbiyah hendaknya berorientasi pada pembinaan lulusan yang memiliki berbagai kompetensi; pertama, kompetensi keilmuan yang mencakup “kecerdasan intelektual” sehingga ia mampu mentransfer ilmu dan pengetahuan secara benar dan baik; kedua, kompetensi professional agar ia dalam menyelenggarakan PBM yang efektif; ketiga, kompetensi personal yang mencakup “kecerdasan intelektual” dan “kecerdasan spiritual” agar ia dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya.


BAB 15: Kelompek “Sempalan” di Kalangan Mahasiswa PTU

Kemunculan dan perkembangan kelompok “sempalan” yang cenderung eksklusif, eksterm, dan radikal dalam islam memiliki akar histories yang amat kompleks. Dalam tulisan ini akan dibahas akar-akar histories kelompok sempalan yang dalam pengamatan sementara cenderung tumbuh dan berkembang lebih subur dikalangan “mahasiswa umum”.

Kecenderungan Keagamaan Mahasiswa
Sebelum kita melangkah lebih jauh, berdasarkan pengamatan selintas, terhadap kehidupan keagamaan di kalangan mahasiswa pada umumnya. Sebagian besar mahasisiwa, dapat dipastikan, mengikuti mainstream keagamaaan masyarakat Muslim. Mayoritas kelompok basar ini, juga dapat dipastikan, memahami dan melaksanakan agama secara “tradisional” dan “konvensional”. Kelompok kedua adalah mahasiswa yang merasa perlu mengembangkan diri, dalam konteks keagamaan, untuk meningkatkan pemahaman mereka Islam, dan dalam konteks akademis, untuk meningkatkan kemampuan organisasi dan keterampilan ilmiah. Kelompok ketiga, yang menjadi inti pembahasan kita. Yakni kemunculan kelompok-kelompk mahasiswa yang lebih berorientasi kepada Islam. Kemunculan mereka dalam tahap pertama ditandai dengan pembentukan kelompok-kelompok kecil yang pada paro pertama dasawarsa 1980-an dulu popular di Indonesia sebagai usrah.
Meskipun secara harfiah, istilah ini sederhananya berarti “keluarga”, secara konseptual dan actual usrah merupakan unit kecil dari sebuah gerakan lebih luas. Tidak begitu jelas, apakah usrah yang berkembang di Indonesia pada dasawarsa 1980-an itu mempunyai kerangka organisasi yang lebih luas. Usrah-usrah yang disebutkan terakhir ini, dengan demikian, lebih merupakan usrah-usrah local, yang dibentuk oleh kepemimpinan tertentu dengan tujuan yang relatf terbatas. Kelompok usrah seperti ini meski eksklusif pada dasrnya tidak mengkhawatirkan; atau tidak akan mendatangkan “bahaya” keagamaan, social, dan politik.
Tetapi usrah-usrah yang dalam satu dan lain hal mempunyai koneksi dan jaringan internasional, mempunyai agenda-agenda yang jauh lebih luas (cf. Azra, 1996a; 1997b). Diantara agenda mereka adalah penciptaan apa yang mereka sebut sebagai al-nizham Al-islami secara total dan menyeluruh. Usrah-usrah seperti ini sangateksklusif dan pada dasarnya sangat radikal.

Kompleksitas Kontemporer
Kompleksitas itu pada dasarnya bukan terletak pada doktrin; karena secara doctrinal kelompok sempalan, khususnya yang ekstrem dan radikal tersebut umumnya mengikuti pola dan paradigma teologis kaum Khawarij. Salah satu penyebab kompleksitas ini dan bahkan gerakan Islam pada umumnya di masa modern dan kontemporer itu adalah faktor Eropa atau Barat pada umumnya. Bagi kelompok ekstrem dan radikal umumnya, Barat merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan kaum muslimin.



Akar Historis dan Doktrinal
Kemunculan kelompok-kelompok sempalan yang ekstrem dan radikal dalam kalangan muslimin berakar justru bukan dari doktrin agama islam itu sendiri, melainkan dari politik di antara kaum muslimin tidak lama setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Dalam masa pemerintahan Ustman IBN Affan, terjadi konflik di antara kaum muslimin. Terdapat pihak-pihak yang memprotes Ustman, yang dianggap telah melakukan politik nepotisme, karena beberapa anggota kabilahnya muncul menempati posisi penting dalam pemerintahan. Ustman akhirnya mengalami nasib tragis, terbunuh ditngan kelompok yang memprotes dan memberontak terhadap pemerintahannya.
Tewasnya Ustman memunculkan konflik yang berpuncak pada pecahnya perang siffin di antara pendukung Ali yang diangkat oleh kaum muslimin sebagai khlifah keempat melawan barisan Mu’awiyah yang memprotes dan menuntut agar persoalan pembunuhan Uatman diselesaikan terlebih dahulu. Perang itu hampir di menangkan aleh barisan Ali ibn Abi Thalib, tapi pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian, yang kemudian diterima oleh Ali.
Penerimaan perdamaian ini merupakan asal-usul kemunculan kelompok ekstrem dan radikal yang pertama di antara kaum Muslimin.kelompok ini dikenal sebagai kaum “khawirij”, secara harfiah berarti “orang-orang yang keluar. Sebaliknya mereka yang tetap mendukung kemudian dikenal sebagai Syiah yang secara harfiah berarti “partai” atau “kelompok” (Ali ibn Abi Thalib).

Kelompok Khawirij, dengan demikan keluar dari mainstream kaum Muslimin, dan melakukan kegiatan-kegiatan subversive di bawah tanah untuk menumbangkan para khalifah dan para penguasa Muslim lainnya,yang mereka pandang telah “kafir” dan “berhukum dengan hokum-hukum selain hukum yang di turunkan Allah.

Relevansi dengan Politik Indonesia
Tidak seluruh kelompok “sempalan: di atas merupakan kelompok sempalan dalam pengertian “menyimpang” dari doktrin Islam. Namun demikian, pertanyaan yang tetapmenggayut adalah; apakah ada relevansi antara kelompok sempalan yang ekstrem dan radikal yang tumbuh dan berkembang di Indonesia?
Terlepas dari eksistensi kelompok sempalan seperti itu, dalam pandangan saya mereka tidak relevan dengan kaum muslimin Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar